1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (262 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...
Published on: September 1, 2006 - 7:30 AM

Mengembangkan JIWA SUKSES

Ada pendapat yang mengatakan bahwa suatu kepribadian yang dimiliki seseorang itu tidak mungkin bisa diubah. Ada juga yang mengatakan bahwa untuk mengubah karakter pribadi seseorang, membutuhkan waktu sepanjang hidup orang tersebut. Di negeri China bahkan ada sebuah peribahasa yang cukup lucu, menyatakan bahwa mengubah karakter pribadi seseorang itu, diibaratkan seperti mengasah sebuah tongkat besi sampai menjadi sekecil jarum jahit.

Membuat sebuah jarum kecil dengan cara mengasah sebuah tongkat besi tentu saja membutuhkan waktu lama, disamping itu juga butuh tekad, keuletan, semangat juang, komitmen pribadi yang benar-benar tangguh; sehingga suatu saat sebuah tongkat besi akan benar-benar menjadi sebuah jarum kecil. Yaa… itulah sebuah kenyataan sesungguhnya tentang mengubah suatu watak atau karakter pribadi, yang memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Saya sendiri sangat tidak setuju dengan pendapat bahwa karakter pribadi seseorang tidak bisa berubah. Kalau memang ternyata seseorang tidak pernah berubah karakter dirinya menjadi lebih baik, meskipun dia telah mengikuti berbagai acara seminar atau pun pelatihan-pelatihan pengembangan diri; maka sebenarnya bukan karena kesalahan seminar atau pun pelatihannya, tetapi orang tersebut memang tidak mau berubah, tidak mau meluangkan sedikit waktu dan tenaganya untuk membuatnya berubah lebih baik.

Saya yakin, bahwa suatu sikap mental atau karakter pribadi seseorang pasti masih bisa diubah, meskipun itu tentu saja membutuhkan waktu dan usaha yang benar-benar harus luar biasa prima. Satu hal kebenaran mendasar yang perlu Anda pahami, yaitu: karakter pribadi atau pun sikap mental pasti bisa diubah. Orang tidak pernah terlalu tua atau terlalu muda untuk bisa mengubah kepribadiannya lebih positif, lebih baik; dan memulai hidup baru dengan lebih produktif, kreatif, inovatif serta berani mengambil resiko dalam meraih keinginan dan cita-citanya.

Seorang bayi sejak di dalam kandungan pasti sudah menerima banyak sekali pengaruh, baik yang berasal dari zat gizi yang dikonsumsi oleh ibunya; maupun dari sikap mental sang ibu selama mengandungnya. Setelah sang bayi lahir ke dunia ini, pengaruh-pengaruh yang akan menyerangnya semakin bertambah besar dari segi kuantitatif maupun kualitatifnya.

Semasa masih kanak-kanak, sampai menjadi dewasa seperti ini; masih terbayang dengan jelas sekali bagaimana perjalanan hidup kita, pertumbuhan diri kita, yang tidak pernah lepas dari pengaruh lingkungan sekitar, khususnya pengaruh dari sikap orang tua kita sendiri dan orang-orang yang sangat dekat hubungannya dengan kita. Masih segar dalam ingatkan kita, bagaimana orang tua kita begitu sayangnya kepada kita; sehingga tanpa mereka sadari, sikapnya yang terlalu menyayangi itu justru membelenggu kebebasan kita untuk mengekspresikan jati diri kita sendiri.

Sikap orang tua yang over protective itulah pada gilirannya akan membelenggu jati diri kita sesungguhnya; sehingga kita tidak bisa menjadi diri kita sendiri. Anda sendiri tentu masih ingat, orang tua Anda seringkali melarang Anda untuk melakukan kegiatan atau aktivitas yang Anda senangi. Jika kegiatan atau aktivitas Anda memang berbahaya, itu bisa dimaklumi. Tetapi pada kenyataannya, seringkali orang tua melarang anaknya melakukan sesuatu hanya sebagai suatu “kebiasaan melarang” saja. Orang tua sering salah dalam mempersepsikan sebuah bentuk larangan, dengan tidak menyadari dampak negatif dari larangan-larangan itu dikemudian hari pada si anak tersebut.

Contoh larangan itu, misalnya: ketika si anak ingin mandi sendiri, dilarang dengan alasan nanti tidak bisa bersih badannya; ketika si anak mau membeli pensil di toko sebelah rumah, juga tidak boleh sendirian, khawatir uangnya jatuh dan hilang; saat si anak ingin menghidupkan radio sendiri, orang tua juga tidak memperbolehkan dengan alasan cari frekuensi gelombangnya nanti tidak bisa pas, atau khawatir anaknya kena “strum”.

Larangan-larangan ini pada dasarnya adalah TIDAK PERCAYA kepada kemampuan si anak, pada gilirannya akan membuat si anak pada masa dewasa nanti menjadi seorang yang juga “tidak percaya” pada dirinya sendiri. Rasa tidak percaya diri ini akan terus melekat pada diri anak tersebut sampai dia dewasa nanti.

Selain bentuk LARANGAN, banyak orang tua suka mengungkapkan KEPASRAHAN BERLEBIHAN terhadap kondisi yang ada pada diri mereka kepada anak-anaknya. Contohnya sebagai berikut: suatu ketika lewat di depan rumahnya sebuah mobil mewah dan tentunya harganya mahal sekali, lalu si anak berkata dengan takjub kepada orang tuanya, “Pa-Ma, mobil itu bagus sekali ya. Coba kita punya.” Orang tuanya menjawab, “Itu bukan hak kita, nak. Mobil kita cukup yang begini saja, nggak perlu mewah, itu bukan rezeki kita, itu rezekinya orang lain.”

Sewaktu jalan-jalan melewati sebuah kompleks perumahan mewah, lagi-lagi si anak berkata, “Mewah dan indah sekali rumah ini ya, seandainya kita juga punya”, langsung si orang tuanya menyahut, “Kita sudah diberi rezeki oleh Tuhan segini, ya harus diterima dan disyukuri. Jangan tergiur dengan milik orang lain. Hidup ini sudah ada yang mengatur.” Begitulah kurang lebih contoh bersikap dari orang tua yang “terlalu pasrah”, “nrimo ing pandum” dengan apa yang sudah dimilikinya.

Secara tidak disadari sikap pasrah yang berlebihan dari orang tua ini akan benar-benar meresap ke dalam pikiran si anak; dan menjadi sebuah pola berpikir di masa depannya, nanti pada saat dia dewasa. Bersyukur atas karunia Tuhan memang harus, tetapi terlalu pasrah atas apa yang diperolehnya merupakan sebuah sikap yang berlebihan; karena ini akan mengembangkan sifat dan sikap inferior di dalam diri kita, sebuah sikap yang memandang rendah diri sendiri, tidak percaya kepada diri sendiri; dan itu akan menghambat kesuksesan.

Masih ada lagi sikap orang tua yang juga kurang proporsional sebenarnya, tetapi ini juga sudah menjadi kebiasaan umum. Sikap itu adalah suatu sikap yang cenderung menakut-nakuti si anak. Suatu contoh, misalnya: “Jangan ke lapangan itu, nanti ada ularnya.” Atau, “Awas, di sungai itu ada hantunya.” Ini juga, “Hati-hati kalau gelap, banyak roh halusnya.” Atau ini, “Jangan begitu, nanti bisa salah.” Dan masih banyak lagi bentuk ungkapan orang tua, yang pada dasarnya adalah juga tidak percaya pada si anak tersebut, karena over protective terhadap anaknya.

Pernyataan-pernyataan orang tua yang cenderung menakut-nakuti inipun akan berdampak negatif pada perkembangan mental dan emosi si anak sampai dewasa kelak. Pada akhirnya anak itu sampai dewasanya menjadi selalu gampang takut untuk melakukan sesuatu, bahkan mungkin bisa menjadi suatu paranoid; suatu bentuk ketakutan yang berlebihan dan tidak beralasan logis.

Pada gilirannya, si anak menjadi sosok pribadi yang selalu tidak percaya diri, pribadi yang mudah goyah pendiriannya; pribadi yang selalu gamang dalam menentukan sikap, yang mana hal tersebut jelas-jelas akan menjadi penghalang dan penghambat terbesar dalam meraih cita-citanya di masa depan. Cara pendekatan orang tua yang salah tersebut, benar-benar akan meresap ke dalam pikiran bawah sadar si anak, yang pada akhirnya berperan membentuk karakter pribadi dan sikap mentalnya.

Contoh-contoh sikap orang tua kepada anaknya, seperti saya jelaskan di atas tersebut, sangat berperan dalam membentuk sikap mental, jiwa kepribadian seseorang; dan bentukan itu bisa sangat kuat pada diri seseorang karena berlangsung dalam waktu lama sekali, puluhan tahun. Sehingga, memang untuk mengubah suatu sikap, watak atau kepribadian seseorang adalah tidak mudah; perlu waktu dan usaha keras untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik. Tetapi yang penting di sini adalah: watak atau kepribadian itu bisa di ubah.

Aldous Huxley, seorang pujangga besar Inggris pernah mengatakan, “Hanya ada satu sudut di alam semesta yang pasti akan bisa Anda perbaiki; itu adalah diri Anda sendiri.” Bahkan, Tuhan sendiri sudah mengisyaratkan dalam firmanNya, bahwa Dia tidak akan mengubah nasib manusia, jika manusia itu tidak mau mengubah nasibnya sendiri. Firman Tuhan ini pastilah suci dan kita sebagai manusia ciptaanNYA harus meyakiniNYA.

Oleh sebab itu, jika ingin sukses; maka Anda harus mau membentuk dan mengembangkan jiwa sukses itu di dalam diri Anda sendiri. Anda harus ada KEINGINAN sekaligus KEMAUAN untuk menjadi SUKSES. Keinginan dan kemauan untuk sukses itu sebuah pijakan, yang harus Anda tidak lanjuti dengan suatu perencanaan matang untuk meraih sukses dan mendapatkannya. Sukses harus Anda rencanakan sebelumnya, yang diawali dengan mengembangkan JIWA SUKSES itu sendiri.

Di dalam pelaksanaan meraih sebuah kesuksesan, Anda pun harus mempunyai sikap ulet, tahan banting, pantang menyerah, dan selalu sertakan doa di dalamnya. Sebab jika tidak begitu, Anda akan mudah sekali untuk berkata, “Saya gagal!” Sesungguhnya sukses memang harus direncanakan sejak awal, sebab kita lahir di dunia ini jelas-jelas tidak langsung membawa jiwa sukses; apalagi dalam perkembangan dan perjalanan hidup kita ini banyak sekali pengaruh negatif yang masuk ke dalam diri kita, sejak dalam kandungan sampai dewasa ini; seperti contoh-contoh saya di atas tadi.

SELAMAT MENGEMBANGKAN JIWA SUKSES ANDA.

Salam Luar Biasa Prima!

Wuryanano

Twitter: @Wuryanano

Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (262 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...

Leave a Comment

Your email address will not be published.