Upacara Tradisi Ruwatan MURWAKALA adalah salah satu ritual yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa hingga saat ini. Upacara ini dicirikan oleh pagelaran Wayang yang memiliki tujuan khusus yaitu “wayangan dianggo srana nulak kacilakan kang bakal tumiba marang bocah mecahake pipisan”, yang artinya; pagelaran wayang sebagai sarana menolak sial dan celaka yang akan terjadi pada anak-anak yang memecahkan pipisan atau alat penggiling jejamuan yang terbuat dari batu.
MURWAKALA berakar dari kata MURWA atau Purwa, yang berarti awal mula; dan KALA, yang berarti waktu. MURWAKALA berarti awal mula sang waktu atau purwaning dumadi (awal mula ada atau awal eksistensi sesuatu.
Ruwatan MURWAKALA ini merupakan tradisi Jawa untuk mengeluarkan sisi buruk dari jiwa manusia. Jalannya ritual ruwatan biasanya dilakukan dengan memotong rambut hingga melarung atau menghanyutkan sesaji. Meskipun ini tergolong ritual kuno, tradisi tersebut masih bisa disaksikan hingga sekarang, di Jawa Timur, khususnya di Candi Kidal, Kabupaten Malang, (Setahu saya yang orang Jawa Timur). Mungkin di daerah lain juga ada, namun saya baru lihat ruwatan yang di Candi Kidal ini.
Prosesi Ruwatan Murwakala yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu dimulai dengan sajian tarian Garudeya. Tarian yang selalu membuka ritual ruwatan ditujukan agar masyarakat yang tinggal di sekitar candi hingga seluruh Indonesia senantiasa damai, makmur, dan sejahtera, serta keutuhan NKRI tetap terjaga.
Candi Kidal berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Anusapati. Candi ini dibangun agar Sang Raja mendapat kemuliaan sebagai Syiwa. Lokasinya, 20 km, arah timur Kota Malang.
Bangunan mulai terlihat kokoh pada 1248 Masehi, setelah upacara pemakaman ‘Cradha’ untuk Anusapati. Relief Garudeya pada tubuh Candi Kidal merupakan amanat dari Raja Anusapati.
Tarian Garudeya tidak lepas dari tiga relief di kaki Candi Kidal yang menceritakan legenda Garudeya. Dikisahkan, ia membebaskan ibunya dari perbudakan. Tiga panel relief itu berada di pilaster (tiang semu) bagian tengah batur Candi Kidal, tepatnya di sisi selatan, timur, dan utara.
Relief Garudeya di Candi Kidal merupakan amanat dari Anusapati, Raja Kedua Kerajaan Singasari. Isi Amanat di relief Candi Kidal itu adalah keinginan Anusapati untuk meruwat ibunya, Ken Dedes.
Tradisi Ruwatan Murwakala lebih ditujukan pada ritual untuk menyucikan pikiran. Tujuan ritual itu dilambangkan dengan pengambilan atau pemotongan rambut.
Makna utama Ruwatan Murwakala adalah mengembalikan jiwa manusia agar bersih kembali. Ritual ini juga merupakan ritual untuk berbagai tujuan, dipercaya bisa untuk membuang sial dari kehidupan.
Proses pembuangan sengkala atau hal negatif salah satunya dilalui dengan refleksi diri, melalui cerita pewayangan Batara Kala. Disebutkan dalam cerita pewayangan, Batara Kala lahir dari perbuatan dosa Batara Guru dan Batara Uma di atas lembu. Batara Kala lahir sebagai raksasa menyeramkan yang ditakuti semua makhluk.
Cerita tersebut merupakan refleksi untuk kehidupan masa kini, bahwa keluarga merupakan benteng pertama untuk melindungi anak dari berbagai hal negatif. Selain itu, orang tua harus merawat luka yang mereka wariskan pada anak mereka. Luka tersebut bisa berbentuk luka batin yang tidak disadari, atau bahkan jin warisan nenek moyang. Semua bisa dibersihkan melalui ritual ini.
Agar terhindar dari malapetaka itu, maka dilakukanlah ruwatan. Yakni, untuk membatalkan status sukerta. Intinya, berdoa kepada Gusti Allah agar dihindarkan dan dijauhkan dari barang dan lelakon kan ala (perilaku tercela).
Saat ini, Ruwatan Murwakala sering diikuti oleh pimpinan yang sedang menjabat atau disebut Nayaka Praja.
Demikian sekilas tentang Ruwatan Murwakala, untuk diketahui, khususnya bagi masyarakat Jawa.
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College
Twitter: @Wuryanano