Pulau Jawa, banyak ditapaki berbagai kerajaan di masa lalu, memiliki deretan gunung-gunung api. Hal ini menjadikan pulau Jawa termasuk ke dalam Sabuk Api Pasifik yang dikenal sebagai Ring of Fire.
Di antara bagian Cincin Api itu adalah Gunung Lawu, yang berada tepat di wilayah perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara geografis gunung ini berada di tengah-tengah pulau Jawa. Hal ini menjadikannya sangat berkaitan erat dalam pembentukan kosmologi budaya Jawa.
Peradaban Jawa dipercaya berasal dari gunung Lawu. Banyak peninggalan kerajaan Jawa berupa candi-candi, di wilayah Gunung Lawu, yaitu Candi Cheto dan Candi Sukuh.
Ada tiga jalur utama pendakian untuk menuju puncak Gunung Lawu, yakni dimulai dari Cemorokandang di Tawangmangu (Jawa Tengah), Candi Cetho di Karanganyar (Jawa Tengah), atau Cemorosewu di Sarangan (Jawa Timur).
Selain ketiga jalur utama dan cukup dikenal itu, sebenarnya masih ada satu lagi jalur pendakian di Gunung Lawu. Jalur pendakian alternatif itu dilakukan dari tempat bernama Singolangu, termasuk wilayah Magetan. Pendakian Singolangu terletak tidak jauh dari Telaga Sarangan, sekitar 3 kilometer jaraknya. Jalur ini dipercaya sebagai jalur pendakian tertua untuk menuju ke puncak Lawu. Di sepanjang jalur Singolangu ini, dapat ditemui beberapa petilasan atau situs.
Legenda Gunung Lawu, angker, tempat bersemayam para makhluk ghaib dengan beragam kesaktiannya telah menjadi mitos dan selalu mengiringi para pendaki yang hendak melihat keindahan serta menaklukkan Gunung Lawu.
Gunung Lawu, bernama asli Wukir Mahendra Giri, gunung ini dipercaya sebagai pasak tertua tanah Jawa. Tak heran jika di dalam cerita Babad Lawu serta Banjaran Lawu, Gunung ini digadang sebagai gunung tertua di Pulau Jawa. Dan menjadi tempat hijrah para dewa dari pegunungan Himalaya nan jauh di daratan Asia.
Gunung Lawu memiliki 3 Puncak, yaitu: Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan puncak tertinggi adalah Hargo Dumilah.
Cerita dimulai dari masa akhir Kerajaan Majapahit (1400 M) pada masa pemerintahan Prabu Bhrawijaya V, Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng Kaping 5 (Pamungkas).
Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dara Petak melahirkan putra bernama Raden Fatah, sementara Dara Jingga melahirkan putra bernama Pangeran Katong.
Raden Fatah setelah dewasa beragama Islam, berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Demak dengan pusatnya di Glagah Wangi (Alun-Alun Demak).
Melihat kondisi yang demikian itu, hati Sang Prabu terusik. Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya melakukan samadhi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa.
Dalam samadhinya, didapatkannya wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan putranya, Raden Patah, yaitu Kerajaan Demak.
Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai abdi setianya, Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton, melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu.
Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan abdi setianya, dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala.
Sebagai abdi dalem setia, dua orang itu pun tak tega membiarkan junjungannya begitu saja. Mereka pun pergi bersama ke Puncak Harga Dalem.
Saat itu Sang Prabu bertitah, “Wahai para abdiku yang setia, sudah saatnya aku harus mundur, aku harus moksa dan meninggalkan dunia ramai ini.”
“Dipa Menggala, karena kesetiaanmu, kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua makhluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi dan gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai Selatan, dan ke utara sampai dengan Pantai Utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan, Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.”
Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu. “Bila demikian adanya, hamba juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini.”
Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun moksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling.
Tinggallah Sunan Gunung Lawu dan Kyai Jalak, mereka berdua menjalankan amanat Prabu Bhrawijaya V, menjaga gunung Lawu.
Dengan kesempurnaan ilmunya, Sunan Gunung Lawu menjelma menjadi Makhluk Ghaib Sakti, dan Kyai Jalak menjelma menjadi seekor Burung Jalak Sakti berwarna Gading.
Kisah tentang burung Jalak Gading ini masih berlanjut hingga sekarang. Banyak orang percaya bahwa burung Jalak Gading sering muncul dan memberi petunjuk jalan menuju puncak Gunung Lawu kepada para pendaki yang memiliki tujuan baik.
Sedangkan, apabila pendaki memiliki niatan buruk, Kyai Jalak tidak akan merestui mereka, akibatnya, para pendaki yang memiliki niatan buruk akan terkena nasib nahas.
Pasar Setan di Lereng Gunung Lawu
Misteri Gunung Lawu angker kian diperkuat oleh adanya kehadiran Pasar Setan. Kabar ini sudah tidak asing lagi bagi para pendaki, sebuah pasar tak kasat mata ini berada di jalur Candi Cetho, lereng Gunung Lawu, sebuah lahan yang ditumbuhi ilalang.
Jalur Candi Cetho, sebetulnya jalur yang paling pendek dan cepat menuju puncak Lawu. Akan tetapi, jalur pendek ini sekaligus menjadi jalur paling berbahaya.
Sebagian pendaki mengaku pernah mendengar suara bising, seakan berada di pasar, saat melewati lahan di lereng Gunung Lawu tersebut. Terdengar pula suara orang sedang menawarkan dagangannya, “Mau beli apa?”
Apabila di sana Anda mendengar suara-suara aneh tersebut, sangat diajurkan Anda harus membuang salah satu barang yang Anda punya, sebagaimana orang yang sedang bertransaksi dengan cara barter.
Demikian sekilas ulasan Misteri Gunung LAWU, setidaknya bisa diketahui oleh kita semua.
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College