1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (298 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...
Published on: February 13, 2010 - 9:45 PM

Memahami TARAK dan TARUK Kejawen

Sebelum beragam agama dari Mancanegara masuk ke Nusantara, di Jawa sudah berkembang sistem kepercayaan, yang sudah matang namun tidak dogmatis.

Orang Jawa atau Kejawen, mengenal Tuhan dengan banyak sebutan. Dan sebutan Tuhan paling populer hingga sekarang adalah SANGHYANG URIP. SANGHYANG URIP bukanlah Tuhan Bersosok atau Berpribadi. DIA itu Abstrak, tak bisa dijelaskan dan tak mungkin digambarkan mirip seperti atau menyerupai sosok apa pun dan siapa pun. Itulah keyakinan asli penduduk Jawa Dwipa di Nusantara ini.

Keabstrakan Tuhan ini juga berlaku bagi Urip atau Hidup itu sendiri. Bagaimana bisa menggambarkan Urip (Hidup) dalam sebuah pribadi? Tentu tdak bisa. Namun Anda pasti mengakui bahwa eksistensi Urip (Hidup) itu nyata dengan kehadiran Anda. Konsekuensi dari keyakinan ini membuat orang Jawa atau Kejawen tidak mengenal ritual penyembahan, karena menyembah sesuatu yang tak terdefinisikan adalah perbuatan sia-sia.

Keyakinan Jawa atau Kejawen dalam lelaku bathin mengenal dua hal utama, yaitu:

1. Pertama lelaku TARAK.

2. Kedua lelaku TARUK.

Secara harfiah, TARAK artinya menjauhi dan menghindari. Lelaku TARAK identik dengan menjauhi dan menghindari kesenangan duniawi.

Sedangkan secara harfiah, TARUK artinya meletakkan. Lelaku TARUK adalah lelaku meletakkan segala pantangan, meninggalkan segala larangan, sehingga TARUK identik dengan menikmati segala kenikmatan duniawi.

Jika TARAK bersikap menolak keduniawian demi meraih pencerahan, maka TARUK bersikap menikmati segala kenikmatan duniawi demi untuk meraih pencerahan itu sendiri.

Jika TARAK menolak makan berlebihan, lebih banyak menjalani puasa dan menghindari makanan-makanan tertentu, maka TARUK itu berkebalikan, dengan memakan segala makanan tanpa batasan.

Jika TARAK menolak kenikmatan senggama dan dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan rendah, maka TARUK mempergunakan kenikmatan senggama tersebut sebagai batu loncatan meraih kesejatian.

TARAK menitik beratkan pada pengekangan untuk mengikis hasrat keduniawian, sedangkan TARUK menitik beratkan pada pelampiasan hasrat keduniawian sepuasnya, hingga pada titik tertentu akan ditemukan satu kejenuhan akut pada semua kenikmatan duniawi tersebut.

Kisah GAGANGAKING dan BUBUKSAH

Gambaran dari lelaku TARAK dan TARUK ini diwujudkan dalam kisah GAGANGAKING dan BUBUKSAH. Dua bersaudara kakak beradik, yang mencari kesempurnaan hidup dengan cara memilih lelaku berbeda.

GAGANGAKING, sang kakak memilih menjalani TARAK, dan dia merasa benar dengan apa yang dijalaninya, sedangkan BUBUKSAH memilih menjalani TARUK, dan dia senantiasa mendapat cemoohan dari sang kakak karena lelaku pilihannya.

GAGANGAKING keras menjalani tapabrata dan pengekangan inderawi, sehingga tubuhnya menjadi kurus kering. Sedangkan BUBUKSAH membebaskan hasrat dan inderanya untuk menikmati segala kenikmatan duniawi, sehingga karenanya memiliki tubuh gemuk.

Mereka berdua menjalani Lelaku itu selama bertahun-tahun, hingga banyak orang mengenali sosok GAGANGAKING sebagai pertapa suci, sedangkan BUBUKSAH adalah manusia tercemar dan kotor.

Hingga pada satu titik, BUBUKSAH menemukan kejenuhan menikmati segala kenikmatan duniawi dan dirinya memperoleh kesadaran jernih.

Berbeda dengan GAGANGAKING, dirinya masih menyimpan hasrat keinginan duniawi yang terpendam, dan semakin terikat dengan predikat sebagai seorang pertapa suci. Dan SANGHYANG URIP menguji kesadaran jernih mereka berdua.

Seekor macan hadir di depan GAGANGAKING, macan yang kelaparan. GAGANGAKING yang ketakutan dan masih sayang dengan kehidupan duniawi ini, mengusir sang macan dan menunjuk ke tempat BUBUKSAH dengan berkata: “Makan adikku, dia bertubuh gemuk. Aku tidak berdaging, tubuhku kurus kering.” Dan sang macan pergi mendekati BUBUKSAH.

BUBUKSAH yang sudah tidak terlekati oleh keinginan duniawi, mengetahui ada seekor macan kelaparan datang, dia berkata: “Makanlah diriku jika itu bisa memuaskan laparmu.”

Seketika macan berubah menjadi Bhatara Kamawijaya, dan menyatakan bahwa lelaku TARUK yang dijalani BUBUKSAH telah mencapai kesempurnaannya.

Ketika BUBUKSAH meninggal, Bhatara Kamawijaya menjemput BUBUKSAH dalam bentuk seekor macan, dan BUBUKSAH dipersilakan menaiki punggung sang macan untuk dihantarkan ke Swargaloka.

BUBUKSAH memohon agar kakaknya bisa dibawa serta. Bhatara Kamawijaya menyetujui, namun GAGANGAKING hanya boleh berpegangan pada ekor macan jelmaan Bhatara Kamawijaya.

GAGANGAKING dalam tapabratanya masih banyak menyimpan keinginan duniawi. Dirinya juga terikat dengan predikat sebagai manusia suci. Walaupun dia pantas masuk ke Swargaloka, namun kedudukannya tidak sama dengan BUBUKSAH.

Oleh karenanya, GAGANGAKING cukup berpegangan pada ekor, dan BUBUKSAH duduk di atas punggung macan. Macan ini adalah simbol dari keakuan. Menduduki macan, berarti mampu menjinakkan keakuan, sedang berpegang ekor macan artinya masih terbawa keakuan.

Ketika ajaran Syiwa dan Buddha masuk ke Jawa, lelaku TARAK memiliki kesamaan dengan YOGA, dan lelaku TARUK memiliki kesamaan dengan TANTRA.

SYEKH DAMIAKING dan SYEKH BELABELU

Dan ketika Islam masuk ke Jawa, GAGANGAKING digambarkan sebagai SYEKH DAMIAKING, sedangkan BUBUKSAH digambarkan sebagai SYEKH BELABELU.

SYEKH DAMIAKING lebih cenderung ke ajaran Fiqih, sedang SYEKH BELABELU lebih cenderung ke ajaran Tasawwuf.

SYEKH BELABELU tinggal dengan SYEKH DAMIAKING di Gunung Banteng, hingga meninggalnya. Karena itu, Makam kedua SyeKh ini pun berada di Gunung Banteng, yang sekarang ini masuk dalam wilayah administrasi Dusun Mancingan, Kalurahan Parangtritis, Kretek, Bantul, Yogyakarta. Letak makam Syekh ini baru ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IV sewaktu beliau berkuasa.

Kompleks makam SYEKH BELABELU dan SYEKH DAMIAKING juga dilengkapi dengan tempat peristirahatan bagi para peziarah. Tempat peristirahatan ini memiliki arah hadap ke Barat. Dari kompleks makam ini, peziarah dapat menikmati pemandangan Pantai Parangtritis dan Laut Selatan.

Hari paling ramai untuk ziarah di makam SYEKH BELABELU dan SYEKH DAMIAKING adalah hari Jumat. Banyak peziarah datang dari berbagai kota ke tempat ini, dengan beragam permohonan. Sesuai tradisi setempat, siapa pun yang merasa berhasil setelah memohon sesuatu di tempat ini, harus mengadakan syukuran dengan membuat persembahan “caos dhahar” berupa nasi liwet ayam.

Wallahu a’lam bish shawab…

Salam Rahayu…

Salam Luar Biasa Prima!

Wuryanano

Twitter: @Wuryanano

Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (298 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...

Leave a Comment

Your email address will not be published.