Setelah bulan RAMADHAN berlalu, kita sambut IDUL FITRI, yang dianggap sebagai HARI KEMENANGAN umat Islam dalam perjuangan melawan hawa nafsunya. Setelah selama satu bulan, kita dilatih untuk mengekang dan mengendalikan hawa nafsu di bulan Ramadhan, kemudian setelahnya kita boleh merayakan Hari Kemenangan pada Idul Fitri. Pertanyaannya adalah, “Benarkah kita sudah benar-benar MENANG?”
Yaa, apakah diri kita memang telah berhasil dan menang mengalahkan hawa nafsu, seperti yang telah kita lakukan di bulan suci Ramadhan itu? Hawa nafsu yang mana, yang benar-benar telah kita kalahkan, sehingga kita boleh merayakannya di saat Idul Fitri? Sudahkah kita menang secara telak terhadap hawa nafsu kita?
Idul Fitri dirayakan sebagai hari kemenangan. Menang atas apa? Menang atas hawa nafsu. Jihad melawan hawa nafsu adalah jihad besar. Maka Idul Fitri adalah kemenangan besar. Tapi, benarkah kita sudah menang atas nafsu kita sendiri selama berpuasa?
Kita berpuasa, menahan diri untuk tidak makan. Jadi, kita menang, kita berhasil mengendalikan nafsu makan kita. Tapi, benarkah kita mengendalikan nafsu makan kita? Atau, sebenarnya kita hanya menggeser waktu kegiatan makan kita ke malam hari? Ketika malam tiba, kita makan sepuasnya. Selama bulan puasa kita justru memuaskan selera makan kita, mencari makanan yang biasanya tak kita makan. Kita juga menghabiskan lebih banyak uang untuk makan, dibanding bulan-bulan lainnya.
Bagaimana dengan konsumsi barang lain? Sama saja. Pengeluaran kita justru meningkat selama bulan puasa, khususnya menjelang Lebaran. Berbagai jenis hidangan dibeli secara berlebihan. Perabot rumah diganti. Pakaian serba baru. Bahkan kendaraan baru. Ada orang-orang yang sampai memaksakan diri untuk membeli kendaraan baru dengan mencicil. Kelak setelah lebaran, baru dia sadar bahwa dia tak mampu membayar cicilannya.
Jadi, benarkah kita menang dalam mengendalikan hawa nafsu? Sadarilah bahwa pemenang sebenarnya adalah para pedagang. Mereka sudah membanjiri kita dengan iklan sejak sebelum bulan puasa tiba. Selama puasa ada ribuan jam dihabiskan untuk acara agama di TV dan radio, semua dengan iklan, baik yang nyata maupun terselubung. Pesan-pesan dagang membonceng pada pesan-pesan agama yang meluncur dari mulut para ustadz.
Lihatlah, para ustadz menyampaikan pesan-pesan agama, yang pada umumnya adalah pesan-pesan basi yang diulang dari tahun ke tahun. Penyampai pesan maupun pendengarnya sama-sama sudah hafal isinya. Yang kurang dari pesan-pesan itu adalah pelaksanaannya. Pada saat yang sama, para ustadz memakai baju merek anu, sarung merek anu, peci merek anu, dan duduk di atas kursi merek anu.
Alam bawah sadar penonton digiring untuk berpikir, belilah merek anu. Belilah, karena ia membuatmu keren seperti para ustadz ini. Belilah sekarang, belilah sebanyak-banyaknya.
Puasa dan Lebaran adalah industri beromset triliunan rupiah. Bahkan jargon kemenangan itu sendiri diproduksi dan diramaikan oleh para pedagang. Orang-orang diyakinkan bahwa mereka adalah pemenang. Mereka dibuat lalai dengan jargon kemenangan itu.
Bagaimana dengan Hal Lain?
Puasa sebenarnya adalah latihan bagi kita untuk tepat waktu. Lihatlah orang-orang berdisiplin tinggi untuk sahur dan buka pada waktunya. Sahur tak boleh terlambat sedikit pun, buka tak mundur semenit pun. Tapi hanya itu. Kebiasaan itu tak membuat kita tertib waktu dalam hal lain. Berpuluh tahun puasa tak membuat kita berubah dari kebiasaan jam karet.
Puasa juga tak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dalam hal akhlak. Tempat-tempat istirahat di sepanjang jalur mudik dipenuhi sampah yang dibuang secara sembarangan. Sebagaimana jargon kemenangan tadi, kita semua fasih dengan jargon ‘kebersihan sebagian dari iman’, tapi hanya sebatas jargon. Substansinya tidak menjelma menjadi perilaku kita.
Kesabaran yang seharusnya terbentuk selama puasa juga tak berbekas. Di jalan raya kita sulit untuk tertib. Kita ingin didahulukan dari orang lain. Maka kita tak segan menyerobot jalan orang, menerobos lampu merah, melewati bahu jalan, melanggar marka, dan melakukan berbagai jenis pelangaran lain. Itu berlangsung sepanjang tahun. Ibadah puasa kita tak mengubahnya.
Yang menonjol dari kita adalah KEPONGAHAN. Saya puasa, maka orang-orang di sekitar saya harus menghormati saya. Jangan makan dan minum di depan saya. Jangan berjualan makanan selama siang hari bulan puasa.
Jadi, benarkah kita ini adalah para pemenang atas nafsu kita? Sepertinya tidak. Kita hanya dibuat percaya bahwa kita menang. Dibuat percaya oleh para pedagang, agar kita makin riang dalam berbelanja.
Saya teringat ucapan motivasi ini, bahwa meraih kemerdekaan itu sulit, tapi masih lebih sulit lagi untuk mempertahankan kemerdekaan! Dan, buktinya memang kita sampai saat ini, masih terlihat kesulitan untuk mempertahankan kemerdekaan ini. Masih banyak rakyat yang belum terlihat merdeka secara lahir maupun batin, kemiskinan masih merajalela di berbagai daerah, di berbagai kalangan, di berbagai strata kehidupan … masih banyak terlihat kemiskinan secara lahir maupun miskin di dalam batin.
Demikian juga dengan kemenangan, bisa dianalogikan, bahwa meraih kemenangan melawan hawa nafsu itu sulit, tapi masih lebih sulit lagi untuk mempertahankan kemenangan ini. Apakah kekuatan kita untuk mempertahankan kemenangan melawan hawa nafsu ini sudah benar-benar besar dan kuat sepenuhnya? Dan, sanggup berapa lamakah kita mampu mempertahankan kemenangan ini? Sehingga dengan begitu, kita bisa menghiasi kehidupan sehari-hari dengan berbagai tindakan yang lebih baik dibandingkan sebelum bulan suci Ramadhan.
Bisakah itu kita lakukan, dan seberapa lama kita sanggup melakukannya? Anda sendiri yang bisa menjawabnya, sesuai dengan pengalaman hidup dan karakter diri Anda sendiri.
Semoga kita benar-benar sanggup mengekang dan mengendalikan berbagai hawa nafsu negatif yang bisa merusak kehidupan ini, tidak sekedar kuat menahan lapar dan dahaga cuma selama rentang waktu satu bulan Ramadhan! Mari kita pertahankan kemenangan melawan hawa nafsu ini dengan sepenuh hati dan cinta kasih kepada Ilahi. Marilah kita hiasi kehidupan kita ini dengan pikiran, tindakan dan hubungan kekeluargaan yang lebih baik lagi. Semoga kita termasuk orang yang benar-benar telah menang dan dimenangkan oleh Allah SWT dengan segala Rahmat dan Hidayah-NYA. Asmiin.
“Demi waktu Matahari sepenggalahan naik, dan demi Malam apabila telah sunyi (gelap-gulita), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu, dan tiada pula benci kepadamu. Dan sesunguhnya, hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-NYA kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS. Adh-Dhuhaa, 93: 1-5).
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College