1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (309 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...
Published on: October 10, 2008 - 4:30 AM

ASAL-USUL dan MAKNA Filosofi SEMAR

Tokoh SEMAR pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul SUDAMALA. Selain dalam bentuk kakawin, Kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh berangka tahun 1439.

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari Keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut, melainkan juga sebagai penasihat, dan pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah dipentaskan masih seputar Mahabharata, yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama terkenal sebagai ahli budaya adalah Sunan Kalijaga. Tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada di dalam Kisah Sudamala.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastranya, mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal-Usul dan Kelahiran Semar

Ada beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.

Dalam Serat Kanda dikisahkan, PENGUASA KAHYANGAN bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka Tahta Kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama SEMAR.

Dalam Naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya yang berkulit hitam, dan Manikmaya yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Tahta Kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa Alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau SEMAR. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru, yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekali pun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam Naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa tahta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka, Sanghyang Tunggal, yang akhirnya mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam Naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putri Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuning telur diberi nama Manikmaya.

Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih, karena masing-masing ingin menjadi pewaris tahta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan, namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati beberapa hari, seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai Raja Kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama TOGOG dan SEMAR.

SEMAR dalam paham Filosofi Jawa disebut juga BADRANAYA

BADRA = Bebadra = Membangun Sarana Dari Dasar

NAYA = Nayaka = Utusan Mangrasul

ARTINYA :

Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Tuhan demi kesejahteraan manusia.

SUDUT PANDANG JAVANOLOGI

SEMAR = Haseming Samar-samar (tidak tersenyum dan juga tidak tertawa, tampak samar-samar), makna kehidupan dari Sang Penuntun.

SEMAR itu bukan lelaki atau pun perempuan. Tangan kanannya selalu mengarah ke atas dan tangan kirinya ke belakang.

MAKNA BAHASA TUBUH SEMAR:

Tangan kanan ke atas SEMAR adalah simbol dari Sang Hyang Akarya Jagad. Sedangkan tangan kirinya ke belakang mengartikan berserah diri total dan mutlak, serta simbol keilmuan sejati.

SEMAR sebagai Lurah Karang Dempel, bermakna; Karang = kokoh, Dempel = keteguhan jiwa.

Rambut SEMAR berbentuk kuncung putih, maknanya “akuning sang kuncung sejati”, sebagai pribadi pelayan suci, mengabdi sepenuh hati.

SEMAR sebagai pelayan mengejawantah dan melayani tanpa pamrih, melaksanakan tuntunan sesuai dengan Sabda Sang Hyang Wenang, Gusti Kang Murbeng Dumadi. Semar berjalan dengan wajah menghadap ke atas, maknanya memberikan teladan agar manusia selalu memandang ke atas, ke GUSTI Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Kain SEMAR adalah bercorak  Parangkusumaraja, itu sebagai perwujudan Dewanggawantah, untuk menuntun manusia agar Memayu Hayuning Bhawana, mengadakan keadilan dan kebenaran di muka bumi.

CIRI KHAS SEMAR:

– Semar berkuncung seperti kanak-kanak, namun berwajah sangat tua.

– Semar tertawanya selalu diakhiri dengan suara nada tangisan.

– Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa.

– Semar berperawakan berdiri sekaligus seperti berjongkok.

– Semar tidak pernah menyuruh, namun bertanggung jawab atas konsekuensi dari nasehatnya.

Budaya Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan adanya Tokoh SEMAR, jauh sebelum masuknya kebudayaan impor dari Hindu, Budha dan Islam di Tanah Jawa.

Di dunia Spiritual Jawa, Tokoh Semar ternyata dipandang BUKAN sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat Mitologi dan Simbolis tentang Ke-Esa-an Tuhan, sebagai perlambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Tuhan, menunjukkan konsepsi Spiritual Jawa.

Pengertian ini suatu bukti kuat bahwa Orang Jawa sejak jaman dahulu adalah Orang Religius dan berkeTuhanan Yang Maha Esa.

Dari Tokoh Semar ini, dapat dikupas, dimengerti, dan dihayati, wujud religi yang telah dilahirkan oleh Kebudayaan Jawa.

Gambaran Tokoh Semar merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek dan sifat Tuhan. SEMAR dianggap sebagai pralambang ngelmu gaib, dan kasampurnaning urip lan pati.

“Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur kamurkan mardika.” Ini bermakna bahwa merdeka jiwa dan sukma, tidak dijajah oleh hawa nafsu keduniawian, sehingga menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa.

Manusia Jawa Sejati, dalam membersihkan jiwa dan sukmanya itu “Ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna dur kamurkane.” Artinya, dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup.

MAKNA FILSAFAT Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon “Semar Mbabar Jati Diri”

Dalam Etika Jawa (Sesuno, 1988:188) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan Jawa adalah punakawan “Abdi Pamomong” yang paling dicintai. Apabila dia muncul selalu disambut oleh simpati para penonton. Seakan para penonton itu merasa berada di bawah pengayomannya.

Mitologi Jawa, menganggap Semar merupakan tokoh sakti berasal dari Jawa (Hazeu dalam Mulyono 1978:25). Ia merupakan Dewa Asli Jawa yang paling berkuasa (Brandon dalam Suseno, 1988:188).

Meskipun berpenampilan sederhana sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah Dewa di atas semua dewa. Ia adalah Dewa yang menjelma menjadi manusia, kemudian menjadi Pamong para Pandawa ksatria utama, yang tidak terkalahkan.

Para Pandawa diyakini merupakan nenek moyang Raja-raja Jawa (Poedjowijatno, 1975:49), dan SEMAR diyakini sebagai PAMONG dan DANYANG Pulau Jawa, bahkan seluruh dunia. (Geertz 1969 : 264).

SEMAR merupakan pribadi bernilai paling bijaksana, berkat sikap batinnya dan bukan karena sikap lahir atau pun keterdidikannya (Suseno 1988:190). Ia merupakan pamong sepi ing pamrih, rame ing ngawe, sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bhawana, menjaga kedamaian dunia (Mulyono, 1978:119 – Suseno 1988:193).

Dari segi Etimologi (Mulyono 1978:28), SEMAR berasal dari SAR yang berarti SINAR CAHAYA. Jadi, Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau Dewa Cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrahsa (Mulyono 1978:18), yang di dalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau Sifat Ilahiah.

SEMAR memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan kesaktian, ini juga merupakan simbol bersifat ilahiyah. (Mulyono 1978:118 – Suseno 1988:191). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto (1969:31) berpendapat dan menggambarkannya dalam bentuk Kaligrafi, Tubuh Semar penuh dengan Kalimat Ilahiyah.

Sifat ilahiyah itu ditunjukkan pula dengan sebutan BADRANAYA yang juga berarti Pimpinan Rahmani, yakni Pimpinan yang penuh dengan belas kasih. Semar juga dijadikan simbol rasa eling, rasa ingat (Timoer 1994:4), yakni ingat kepada Sang Hyang Widhi, Sang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA sekalian alam semesta.

Berkenaan dengan Mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiyah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pewayangan disuguhkan lakon ”Semar Mbabar Jati Diri“. Gagasan tersebut muncul dari Presiden Soeharto di hadapan para Dalang, saat mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta, pada 20-23 Januari 1995. Tujuannya agar para Dalang ikut serta menyukseskan program pemerintah dalam Pembangunan Manusia Seutuhnya, termasuk Pembudayaan P4 (Cermomanggolo 1995:5).

Gagasan itu disambut hangat oleh para Dalang dengan menggelar lakon ”Semar Mbabar Jati Diri“ tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain: Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan Manteb Soedarsono (Cermomanggolo 1995:5 – Arum 1995:10).

Dikemukan oleh Arum (1995:10) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ”Semar Mbabar Jadi Diri”, diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh “Sangkan Paraning Dumadi”, ilmu asal muasal dan tujuan hidup, yang digali dari Filsafat Aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka.

Pemahaman dan penghayatan kawruh Sangkan Paraning Dumadi itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer (1994:4), bahwa Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai Sumber Daya Hidup, yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup.

Sumber Daya Hidup itu disimbolkan dengan SEMAR sebagai Sastra Dentawyanjana. Dan mengacu pada pendapat Warsito (Ciptoprawiro 1991:46) bahwa Aksara Jawa itu diciptakan oleh SEMAR, maka tepatlah jika pemahaman dan penghayatan kawruh Sangkan Paraning Dumadi tersebut bersumber dari Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka.

Demikian selintas uraian tentang FILOSOFI SEMAR. Semoga menambah wacana pengetahuan, dan wawasan budaya kita.

Salam Luar Biasa Prima!

Wuryanano

Twitter: @Wuryanano

Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (309 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...

Leave a Comment

Your email address will not be published.