Serat Wedharaga merupakan salah satu karya terkenal dari Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga terakhir dari Kraton Surakarta. Penulisan karya sastra ini ditandai dengan adanya Candrasengkala yang berbunyi Tursan Rong Sapteng Lebu *) (1799 AJ) atau 1870/1871 Masehi.
*) Tursan Rong Sapteng Lebu = terusan liang (sampai) ke tujuh debu (bumi lapis ke tujuh). Ini adalah Candrasengkala waktu Serat Wedharaga ditulis, menunjukkan angka tahun Jawa 1799 = Masehi 1870/1971.
Serat ini disusun dengan menggunakan Tembang Macapat Gambuh sejumlah Tigapuluh Delapan Bait. Sebagaimana pernah dituliskan oleh Kamajaya dalam “Lima Karya Pujangga Ranggawarsita” (1985), dalam Serat WEDHARAGA tidak ditemukan adanya sandiasma seperti karya sastra Ranggawarsita lainnya.
Sebagai karya sastra piwulang, karya Ranggawarsita ini merupakan pengaplikasian pengetahuan agama, etika, spiritual, dan ilmu-ilmu sosial lain menjadi satu kesatuan terpadu. Jika kita baca secara menyeluruh, terdapat penjelasan tentang pesan-pesan yang ditujukan untuk generasi muda. Pemuda yang baik adalah mereka yang mampu menjaga emosi dan hawa nafsunya, serta memosisikan kembali bagaimana kedudukan dirinya dengan Sang Pencipta.
1. Ki Gambuh karya pemut, limuting tyas rare kang kalimput, lacut maring reh sumirang murang niti, tantan tuman amamatuh, temah lumaku ginuron.
– Ki Gambuh (Ki Pujangga) memberi peringatan, (tentang) anak muda yang kegelapan hatinya karena tertutup, terlanjur menempuh (dan) melanggar kesopanan, tetap demikian (karena) terbiasa, akhirnya (bahkan) bertindak menjadi guru.
2. Trakadhang amar dhukun, dhokohan tyas asring ngumbar sanggup, iku aja kongsi mangkono yen keni, kinira-kira kang patut, apa kalumrahaning wong.
– Kadang-kadang berdukun, hatinya bernafsu sering menyatakan serba sanggup, janganlah demikian kalau boleh (dinasehati), berbuatlah yang kira-kira patut, (seperti) apa yang biasanya dilakukan orang.
3. Kang wus kaprah kalaku, inganggoa sapakolehipun, mung patrape den sumendhe aja kibir, manawa kena sisiku, wekasan rinasan ing wong.
– Yang sudah lumrah terjadi, pakailah itu sedapat-dapatnya, hanya caranya hendaklah bersandar (kepada Tuhan) dan janganlah sombong, (sebab) kalau kena murka (Tuhan) akhirnya dipergunjingkan orang.
4. Nadyan dadia dhukun, lamun ana masakalanipun, pinilala dening wong agung kang wajib, samonoa durung patut, wong anom ahlul mangkono.
– Meskipun menjadi dukun, kalau (dapat) pada saatnya, dipilih orang besar yang wajib, itu pun belum pantas, orang muda (seolah-olah) berkeahlian demikian.
5. Ing tembe yen wus pikun, pantes bae ulah idu wilut, bangsa bincil ambabatang ngusadani, mbok munia theyot theblung, tan ana wong amaido.
– Kemudian kalau sudah tua renta, pantas sajalah mengerjakan (bidang) ludah bertuah, soal-soal perhitungan primbon menebak-nebak kejadian / lelakon dan memberi obat, berkata apa pun, tak ada orang mendustakannya.
6. Mangkene patrapipun, wiwit anom amandengalaku, ngungurangi mangan turu sawatawis, amemekak hawa napsu, dhasarana andhap asor.
– Beginilah cara (baik)nya, sejak muda memusatkan tindak usaha, (dengan) mengurangi makan-minum sekedarnya, mengekang hawa nafsu, hendaklah didasari berendah diri.
7. Akanthi awas emut, aja tinggal wiweka ing kalbu, mituhua wawarah kang makolehi, den taberi anguguru, aja isin atatakon.
– Dengan awas dan ingat (kepada Tuhan), janganlah meninggalkan sikap hati-hati, ikutilah nasihat yang berguna, rajin-rajinlah berguru, janganlah malu bertanya-tanya.
8. Wong amarsudi kawruh, titirona ing reh kang rahayu, aja kesed sungkanan sabarang kardi, sakadare angingipun, nimpeni kagunaning wong.
– Orang menuntut pengetahuan, tirulah cara yang selamat, jangan malas (dan) enggan segala pekerjaan, (untuk sekedar menghimpun, memanfaatkan kecakapan orang.
9. Tinimbang lan anganggur, kaya becik ipil-ipil kawruh, angger datan ewan panasten sayekti, kawignyane wuwuh-wuwuh, wekasan kasub kinaot.
– Lebih baik dari menganggur, kiranya baik mengumpulkan pengetahuan dari sedikit, asal tidak serba tak suka pada orang lain dan tidak dengki tentulah, kepandaiannya bertambah-tambah, akhirnya terkenal unggul.
10. Lamun wus sarwa putus, kapinteran simpenen ing pungkur, bodhonira katokna ing ngarsa yekti, gampang traping tindak-tanduk, amawas pambekaning wong.
– Bilamana sudah serba ahli, hendaklah kepandaian disembunyikan (di belakang), perlihatkanlah kebodohanmu di muka (itu) tentulah, memudahkan langkah lakumu, (untuk) memahami perangai orang.
11. Karana ing tumuwuh, akeh lumuh katona mbalilu, marma tansah mintonken kawruh pribadi, amrih den alema punjul, tan wruh bakal kajal omprong.
– Sebab di dalam hidup, banyak orang segan kelihatan bodoh, maka selalu menunjukkan pengetahuannya sendiri, agar dipuji sebagai orang unggul (pengetahuannya), tak tahunya akan terjerumus.
12. Lamun pinter satuhu, tan mangkono ing reh patrapipun, kudu nganggo watara duga prayogi, pinter angaku balilu, dennya met kagunaning wong.
– Kalau benar-benar pandai, tidak demikianlah kelakuannya, haruslah dengan kira-kira betapa baiknya, pandai-pandailah mengaku bodoh, (agar) dapat memanfaatkan kepandaian orang.
13. Angarah warah wuruk, lamun seje murad maksudipun, rasakena ing ati dipun nastiti, aja pijer umbak umuk, mundhak kawiyak yen bodho.
– Menginginkan nasihat (dan) ajaran, bila berlainan maksud tujuannya, renungkanlah di dalam hati dengan teliti, janganlah selalu besar mulut (dan) sombong, niscaya terungkap kebodohanmu.
14. Panengeraning wong iku, adat ana panggrayanganipun, peten saking sambang liring nayeng wadi, yen wong ngaku sarwa putus, iku mratandhani bodho.
– Cirinya orang itu, biasanya ada tanda-tandanya, dapatkanlah dari kilasan air mukanya yang mengandung rahasia (sifatnya), bila orang mengaku serba ahli, itu tandanya ia bodoh.
15. Lamun wong ngaku cukup, mratandhani kukurangan iku, wong ngungasken kakendelan tandha jirih, wong angakukiyat pengkuh, tandha apes amalendo.
– Bila orang mengaku kaya, menandakan ia kekurangan, orang yang menunjukkan keberaniannya tandanya ia penakut, orang mengaku kuat sentosa, tandanya ia lemah dan tak dapat diandalkan.
16. Wong ngaurip wus tamtu, akeh padha arebut piyangkuh, lumuh lamun kasor kaseser sathithik, nanging singa peksa unggul, ing wekasan dadi asor.
– Orang hidup tentulah, banyak berebut kebanggaan, tak mau kalah (dan) bergeser sedikit pun, tetapi siapa yang memaksa unggul, akhirnya menjadi hina.
17. Ingkang mangkono iku, badaningong pribadi ing dangu, paksa unggul wekasan malah katinggil, panggilesing jabung alus, winangsulan tyas kaleson.
– Yang demikian itu, diriku (Ki Pujangga) sendiri dahulu, (pernah) memaksa ingin unggul akhirnya terpukul, (oleh) gilasan (orang) yang memikatnya (dengan) halus, (akan) kuulangi lagi hatiku sudah lemas.
18. Mangkono kang tinemu, marmane wong ngaurip punika, aja pisan paksa ambek kumalikih, angaku sarwa linuhung, wekasan kether tan ethor.
– Demikianlah itulah hasilnya, maka orang hidup itu, jangan suka bersifat sombong, mengaku serba hebat, akhirnya lalai dan tidak pecus.
19. Ana kang wus kadulu, suteng carik kadhinginan tuwuh, ngaku putus patrape kurang patitis, manut ngelmuning guyeng dul, amangeran luncung bodhol.
– Adalah yang sudah terlihat, anak jurutulis yang berwatak terlalu maju, mengaku ahli (tetapi) tingkahnya kurang tepat, (hanya) mengikuti ilmunya santri yang mengaku-aku, mendewakan badut keparat.
20. Badhar tyas kabalawur, baladheraning wong ambabangus, angas ungus ing wuwus tan anguwisi, temah kasebut wong gemblung, kinira yen lara panon.
– Terbukalah kedoknya (menjadi) bingunglah hatinya, (itulah) kotor-kotornya manusia menghasut-hasut, berlagak berani (tetapi) ucapnya tak (mampu) menyelesaikan, akhirnya disebut orang kurang pikir (sinting), (hingga dia) dikira sakit otaknya.
21. Saengga tunggal laku, lan kang asring gumaib ing kawruh, turtan wikan wiwekaning reh nayadi, adreng ngumbar arubiru, amberat berawaning wong.
– Sehingga lagak lagunya sama, dengan orang yang sering sombong pengetahuan, padahal tak tahu caranya berhati-hati dengan muka manis, melampiaskan nafsu membuat huru-hara, (akan) memberantas keunggulan orang.
22. Saking lobaning kalbu, mung kalebu lebdeng bek kung lur kung, kumalungkung ngaku ngungkuli sakalir, saliring utameng kawruh, pangrasane padha kasor.
– Karena angkara hati, hanya termasuk orang yang membiarkan orang (lain) susah bertambah sedih, (ia) angkuh mengaku (pandai) melebihi segala-gala, semua keutamaan pengetahuan pula, merasa semuanya sudah kalah (dengan dia).
23. Tur maksih sasar-susur, saraseng ros tan pati tinemu, wekasane mung kudu den alem bangkit, inganthukan bae munthuk, tandha lamun durung kamot.
– Padahal masih tersesat-sesat, rasa intinya tidak begitu jelas, akhirnya hanya harus dipuji kecakapannya, diangguki saja sudah besar hatinya (itu) tandanya belum mampu menampung banyak pengetahuan.
24. Marma utama tuhu, yen abisa matrap unggah-unggah, tanggap ing reh ngarah-arah ngirih-ngirih, satiba telebing tanduk, tumindak lawan angawon.
– Maka sungguh utama, jika dapat menjalankan sopan-santun, dapat mengerti gelagat (dan) hati-hati (serta) bertindak halus, bagaimanapun cara pelaksanaannya, hendaklah bertindak dengan mengalah.
25. Sapa wruh kembang tepus, iku bisa angarah panuju, yekti datan adoh lan badan pribadi, lamun kanthi awas emut, salamet tumekaning ndon.
– Siapakah tahu kembang tepus *), dia dapat menuju hati, (segala sesuatu) sebenarnya tak jauh dari badan sendiri, jika disertai awas dan ingat (kepada Tuhan), selamatlah sampai pada (tempat) tujuan.
*) Kembang tepus adalah nama jenis kembang. Tepus = tepa, ukur = ukuran panjang, luas, dan tebal dari sesuatu. Di sini kembang tepus dipakai untuk memperingatkan orang agar perbuatan dan tindakannya memakai ukuran diri sendiri. Peribahasa: Ukur baju badan sendiri (Jawa: tepa salira).
26. Dongeng jaman karuhun, mbokmanawa pantes dadi pemut, ana janma bagus anom sarwa wasis, nanging kuciwa kasebut, tukang sual juru waon.
– Dongeng zaman dahulu, barangkali pantas menjadi peringatan, ada seorang pemuda rupawan serba mahir, tetapi sayang (dia) disebut orang, suka membikin persoalan dan senang mencela.
27. Sawiji dina nuju, temu lawan wong tuwa wus pikun, mintoaken kabangkitan lair-batin, kaki tuwa alon muwus, mengko ta wong bagus anom.
– Pada suatu hari waktu, (ia) bertemu dengan orang tua renta, (pemuda itu) menunjukkan kepandaiannya lahir-batin, Ki Tua renta berkata pelahan, nanti dulu pemuda bagus.
28. Manira takon tuhu, lagi pira umurira bagus, winangsulan uwis telung puluh warsi, kaki tuwa mesem muwus, layak durung bisa amot.
– Saya bertanya sebenarnya, baru berapa tahunkah umurmu Nak, jawabnya sudah tiga puluh tahun, Ki Tua Renta berkata sambil tersenyum, pantas belum dapat menampung banyak (pengetahuan).
29. Maksih cilik ususmu, baya lagi sadami gengipun, yen nyabranga luwih saking seket warsi, wus gedhe dawa ususmu, barang kapinteran kamot.
– Ususmu masih kecil, mungkin baru sebesar daun padi, kalau umurmu sudah melewati lima puluh tahun, sudah besar panjang ususmu, segala kepandaian dapat anda tampung.
30. Mokal lamun alimut, jroning layang Nitisastra iku, gajeg ana pralampitane kang muni, upama jun kurang banyu, kocak-kocik kendhit ing wong.
– Mustahil tak tahu, di dalam Kitab Nitisastra, kiranya ada perumpamaan yang berbunyi, misalkan buyung bila isi airnya kurang, kocak dikepit di lambung orang.
31. Manawa kebak kang jun, yekti anteng den indhit ing lambung, iku bae kena kinarya palupi, pedah apa umbak umuk, mundhak kaeseman ing wong.
– Bila buyung itu penuh, niscaya tenang dikepit di lambung, itu saja dapat dipakai contoh, apakah gunanya sombong (dan) bermulut besar, niscaya disambut orang dengan tersenyum.
32. Wong anom meneng ngungun, kaluhuran sabda alon mundur, ing wekasan mari dennya mbek gumaib, mung lukita kang ginilut, empan papaning wiraos.
– Pemuda itu diam (serta) heran, omongnya teratasi (oleh Ki Tua Renta), (lalu) pergi diam-diam, akhirnya tidak lagi bersifat sombong, (lalu) melulu mempelajari karangan-karangan (kitab-kitab), (tentang penerapan) rasa perasaan yang sebenarnya.
33. Malah wiwit anggayuh, tuturutan pangkating ngelmu, kasampurnan pamoring kawula Gusti, mahasucekken Datipun, pangrakiting reh tan keron.
– Bahkan mulai hendak mencapai, pedoman dan tingkatan ilmu, kesempurnaan (tentang) kesatuan makhluk dan Khalik, Mahasucikan Dzat Tuhan, tak salah melaksanakan ajaran.
34. Pangracutan pangukut, myang pambabarira tan keliru, panarikan patrape tanajul tarki, ing sangkan paran sumurup, tan kalendhon nora kadho.
– Mengalahkan dan mematikan nafsu, pelaksanaannya tak salah, menarik nafas melaksanakan ajaran tanajul tarki *), (yaitu) tentang asal dan tujuan hakiki, tidak salah dan tidak khawatir.
*) Tanajul tarki, dari; tanazul tarqi. Tanazul = turun; tarqi = meninggalkan. Di kalangan kaum mistik Jawa, kata-kata ini digunakan untuk memberi ajaran tentang turunnya roh, dan roh meninggalkan jasadnya. Dalam bahasa Jawa: sangkan paraning dumadi.
Sangkan, dari sangka, saka = dari, asal. Paran = tujuan, menuju ke …Dumadi, dari dadi = jadi, kejadian (manusia).
Ajaran tersebut menurut Islam, ada termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat: 156, Inna lillahi wa inna ‘ilaihi raji’un = sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.
35. Lamun mangkono patut, tinirua tepaning tumuwuh, tan lyan saking sambadeng badan pribadi, binudi sidaning sadu, aneng kene kana kanggo.
– Yang demikian itu patutlah, ditiru dengan ukuran makhluk, tak lain dari kemampuan diri masing-masing, diusahakan tercapainya dengan kesabaran, (itu) berguna di dunia dan di akhirat.
36. Ki Gambuh bisa muwus, anglakoni dhewe durung kaur, dangdang sumyang watak wantune wong langip, tan kawawa wuwur sembur, pitutur bae yen kanggo.
– Ki Gambuh (Ki Pujangga) dapat berkata, (tetapi) menjalaninya sendiri belum sempat, (hanya) sorak-sorak seperti kebiasaan orang (yang) lemah, tak dapat nasihat dan doa, petunjuk ini saja kalau dipakai.
37. Amung amrih rahayu, ewadene ing babasanipun, alah kandha ana ing tandha lan yekti, titenana ala nganggur, begja kang gelem anganggo.
– (Maksudnya) hanya agar selamat, meskipun demikian ada peribahasa, daripada kata ada tanda (daripada tanda) ada bukti nyata, ingat-ingatlah sambil lalu, (sungguh) beruntung (orang) yang mau memakai (nasehat ini).
38. Tursan rong sapteng lebu, Ki Pujangga panggupitanipun, tawi tawar ing surasa tanpa manis, marma kongsi karya pemut, mung met marta karahayon.
– Trusan rong sapteng lebu, (itulah angka Tahun waktu) Ki Pujangga menggubah (kitab ini), hambar belaka tak ada manisnya, maka (sebabnya Ki Pujangga) sampai memberi peringatan, hanyalah (karena) menghendaki hidup selamat.
Melalui karya sastra ini, Ranggawarsita hendak menjelaskan bahwa ada cara khusus dalam memandang pendidikan moral spiritual pemuda. Dari sekian sudut pandang yang ada, bisa disimpulkan menjadi tiga bagian: pengendalian diri, etika, dan perjalanan beragama. Semua aspek tersebut dijalani oleh individu pemuda dalam bentuk pemusatan individu atau kontrol diri (self-direction).
Pengendalian diri merupakan upaya menumbuhkan kesadaran diri, bahwa kekuatan fisik dan mental pemuda harus diasah. Bahkan, bisa dikatakan unsur kemandirian ini sangat penting untuk diaplikasikan. Namun, dalam proses self-direction ini, Ranggawarsita tidak serta merta membebaskan seseorang untuk bertindak. Ada beberapa patokan khusus yang harus diperhatikan oleh pemuda dalam mengarungi pendidikan menurut model self-direction ini.
Pertama, harus menyadari bahwa ilmu ataupun keterampilan itu di bawah adab. Seringkali kita melihat bahwa pemuda memiliki watak suka memunculkan dirinya dalam citra serba bisa. Menurut istilah Ranggawarsita, mereka boleh mendapatkan kelebihan ataupun “daya linuwih” dari kemampuan batin “amardhukun”. Tetapi, sebaik-baik keterampilan adalah yang direalisasikan untuk kebaikan dan bisa dirasakan oleh orang banyak.
Elaborasi kawruh dengan laku menjadikan pemuda seharusnya tahu bahwa keilmuan hanyalah sarana untuk bersosialisasi dalam kehidupan. Di atas ilmu, masih ada adab dan tata krama yang harus dicamkan betul-betul. Jangan sampai keilmuan yang dimiliki menjadi hal buruk di kehidupan.
Selain itu, dalam menuntut ilmu atau mengembangkan pengetahuan harus dilandasi rasa rendah hati. Ranggawarsita menjelaskan kisah seorang pemuda cerdas yang berdebat dengan orang tua. Tetapi, pemuda itu kalah gara-gara tidak berbanding dengan pengalaman laku yang dialami oleh orang tua. Sebenarnya ini wujud kritik bahwa sepandai-pandainya pemuda, tetap harus menghormati orang tua. Hal ini dikarenakan orang tua sudah mengalami banyak peristiwa dalam kehidupannya. Pemuda masih dalam tahap teoritis, sementara orang tua sudah masuk pada tataran praktis.
Ke Dua, dalam proses pendidikan self-direction ini, mampu menjadi jalan mendekatkan diri kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi. Banyak sekali pelajaran sejak zaman dahulu, yang memberikan penjelasan tentang hal-hal yang akan datang. Oleh karena itu, seseorang yang sudah ahli dalam bidang tertentu tidak diperkenankan untuk sombong, sebab di atas langit masih ada langit, di atasnya masih ada Sang Pencipta Langit yang menjadi sumber ilmu.
Salam Rahayu…
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur Collegw