Kakawin Sutasoma merupakan karya Empu Tantular pada abad 14. Kakawin Sutasoma adalah peninggalan karya sastra dari Kerajaan Majapahit. KAKAWIN, dalam Bahasa Jawa Kuno berarti SYAIR. Kakawin ini ditulis dengan menggunakan Bahasa Jawa Kuno dan menggunakan Aksara Bali.
Kakawin Sutasoma telah ditulis kembali di atas daun lontar pada tahun 1851 dengan ukuran sebesar 40,5 x 3,5 cm. Meski demikian, tidak diketahui siapa yang telah menulisnya ulang.
Isi Kakawin Sutasoma ini tentang kehidupan Pangeran Sutasoma, yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan seperti toleransi beragama, terlebih antara Buddha dan Hindu.
Kakawin Sutasoma tersusun dari 1.210 bait dalam 148 pupuh. Kakawin Sutasoma menceritakan tentang usaha Pangeran Sutasoma, yang menjalani kehidupannya sebagai titisan Sang Hyang Buddha dalam menegakkan dharma.
Pangeran Sutasoma adalah putra dari Prabu Mahaketu, Raja Kerajaan Astina. Dalam perjalanan hidupnya, ia lebih tertarik untuk memperdalam ajaran Buddha, dibandingkan harus mengemban tugas untuk menjadi raja sebagai penerus ayahnya.
Kakawin ini digubah di bawah naungan Sri Ranamanggala. Gubahan dilakukan pada sekitar tahun 1365-1369, saat pemerintahan Hayam Wuruk. Gubahan tersebut sangat penting karena memuat ide-ide religius, khususnya tentang agama Buddha Mahayana dan hubungannya dengan agama Siwa.
Kakawin Sutasoma adalah karya sastra unik karena kisah tokoh Pandawa telah diganti menjadi kisah Buddhis. Di dalamnya terdapat kisah hidup Sutasoma, yang berpola hidup Buddha dan kisahnya diambil dari cerita faktual.
Kakawin Sutasoma memaparkan peringatan tentang timbulnya gejala pertentangan antara Keraton Barat (Kusumawardhani atau Wikramawardhana) dengan Keraton Timur (Bhre Wirabhumi). Pertentangan kedua orang keturunan Hayam Wuruk ini kemudian meletus menjadi perang, yang dikenal sebagai Perang Paregreg.
Kakawin Sutasoma berisikan anjuran, agar pertentangan kedua kubu darah Majapahit tersebut diselesaikan secara damai berdasarkan prinsip Buddhis. Kakawin ini juga menggambarkan bahwa Hayam Wuruk adalah penjelmaan Raja Buddhis yang ideal.
Ajaran Kearifan Budi Pekerti
Kakawin Sutasoma memberikan ajaran-ajaran kearifan budi, yang bersumber dari perjalanan Sutasoma. Putra Prabu Mahaketu, Raja Astina ini melakukan pengembaraan. Suatu lelaku untuk mendapatkan ilmu, pengetahuan, dan pengalaman.
Berikut adalah ajaran kearifan dalam Kakawin Sutasoma:
1. Lelaku prihatin adalah kunci hidup mulia
Tidak ada kehidupan yang mulia di dunia ini tanpa ditebus dengan lelaku prihatin. Karenanya, Sutasoma sebelum menjadi raja Astina melakukan laku lelana brata terlebih dahulu. Suatu lelaku yang ditujukan untuk mendapatkan ilmu, pengetahuan, serta pengalaman empirik. Sesudah perbekalan dianggap cukup, Sutasoma mengakhiri lelana bratanya untuk mengawali hidup baru sebagai Raja Astina. Dia menjadi Raja yang adil dan dicintai oleh seluruh punggawa dan rakyatnya.
2. Budak kenikmatan adalah ciri sifat rakus
Satu sifat rakus adalah menjadi budak kenikmatan dan selalu halalkan segala cara dalam meraih tujuan. Hal ini dicontohkan oleh Raja Kalmasapada atau Purusada dalam Kakawin Sutasoma.
Kalmasapada, awalnya cukup nikmat menyantap daging anjing dan babi. Namun sesudah seluruh anjing dan babi di negeri itu habis, juru masak kerajaan mencoba menggunakan mayat manusia untuk dimasak dan disajikan kepada Kalmasapada. Ternyata daging mayat manusia itu bagi Kalmasada terasa lebih nikmat dibandingkan daging anjing dan babi, maka raja itu minta untuk disajikan menu daging manusia setiap hari. Itulah Kalmasapada, tokoh rakus yang tidak pernah merasa puas dengan kenikmatan, tidak pernah takut dosa dan hukuman Tuhan. Dikisahkan, Sutasoma bersedia sebagai tumbal, untuk membebaskan 100 raja yang akan dipersembahkan oleh Kalmasapada kepada Bhatara Kala. Merasakan pancaran ketulusan hati Sutasoma, Kalmasapada akhirnya bertobat atas kesalahannya, dan melepaskan raja-raja itu.
3. Kemenangan sejati dapat diraih tanpa menghancurkan
Kemenangan Sejati adalah kemenangan yang diraih tanpa berusaha untuk menghancurkan lawan. Hal ini telah dilukiskan dalam Kakawin Sutasoma melalui sepak terjang Pangeran Sutasoma.
Asal mula semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Kakawin Sutasoma bercerita tentang agama Buddha Mahayana dan kaitannya dengan agama Siwa. Kakawin ini menunjukkan bahwa Buddha dan Siwa adalah berbeda.
Kendati begitu, keduanya dapat dikenali karena kebenaran Buddha dan Siwa merupakan hal yang tunggal. Berbeda, namun tunggal, karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Kutipan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam Kakawin Sutasoma terdapat pada pupuh 139 bait ke-5. Bunyinya seperti berikut, “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
Arti dari bait di atas adalah, “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana pun bisa dikenali. Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.”
Masyarakat Majapahit sudah mengenal berbagai agama, meskipun yang utama adalah Agama Hindu dan Buddha. Dan karena keanekaragaman ini, Kerajaan Majapahit menciptakan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” yang diambil dari Kakawin Sutasoma. Tujuan semboyan ini untuk menciptakan kerukunan beragama di antara rakyatnya.
Nah Sahabat. Itulah selintas Kakawin Sutasoma dan asal mula semboyan Bhinneka Tunggal Ika di negara kita sekarang ini.
Salam Rahayu…
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College