Serat Sastra Gendhing diciptakan oleh Sultan Agung, Raja Mataram, yang termasyur sebagai negarawan dan budayawan.
Dalam lintasan sejarah, beliau tercatat sebagai Narendra Gung Binathara, Mbau Dhendha Nyakrawati, Ambeg Adil Paramarta, Mamayu Hayuning Bawana. Sebuah ungkapan yang menunjukkan pemimpin besar penuh wibawa, memegang keadilan, menjunjung hokum dan senantiasa menjaga keserasan dunia.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, terjadi alkulturasi budaya dan agama, yang meliputi Hindu, budha, Islam dan Jawa. Semua aliran dan paham dapat berjalan sesuai harapan, sehingga terjalin sebuah tatanan yang harmonis.
Nama asli Sultan Agung adalah Raden Mas Rangsang, kemudian bergelar Panembahan Hanyakrakusuma, Prabu Pandhita Hanyakrakusuma, atau Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Sesudah tahun 1640, Sultan Agung menggunakan nama gelar Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman. Kemudian pada tahun 1641, Sultan Agung mendapatkan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram dari pemimpin Ka’bah di Mekkah.
Sultan Agung telah menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan di Mataram. Melalui Sultan Agung, Kalender Hijriyah yang digunakan di pesisir utara dipadukan dengan kalender Saka yang masih digunakan di pedalaman. Hasilnya adalah tercipta Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu, Sultan Agung dikenal sebagai sastrawan. Berkat kepiawaiannya di bidang kesastraan, Sultan Agung menciptakan Serat Sastra Gendhing. Sebuah karya sastra yang sarat dengan ajaran-ajaran kearifan Jawa.
Kandungan Serat Sastra Gendhing
Serat Sastra Gendhing merupakan salah satu sastra Jawa berjenis Suluk. Sebagai Suluk, Serat Sastra Gendhing berbentuk tembang macapat dan memuat ajaran tentang perjalanan hidup manusia mencapai kesempurnaan hidup melalui kedekatan dengan Tuhan. Serat Sastra Gendhing berisi ajaran panduan moral, agar manusia mengenal sang pencipta dan mengerjakan perbuatan bermanfaat terhadap sesama umat manusia, yang didasari oleh ilmu pengetahuan.
NASKAH asli Serat Sastra Gendhing gubahan Sultan Agung, tediri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas tentang filosofi hubungan sastra dan gendhing.
Ajaran Kearifan di Dalam Serat Sastra Gendhing
Berikut kutipan bagian Serat Sastra Gendhing yang menyoal tentang filosofi Aksara Jawa Hanacaraka:
“Pemusatan diri pada Hyang, petunjuknya berupa sastra dan bunyi gendhing. Jika telah disepakati. Meskipun aksara jiwa tidak meninggalkan bunyi gendhing asalnya. Bunyi gendhing sejak zaman purbakala. Seperti yang telah diucapkan terdahulu.”
“Seperti halnya sastra yang duapuluh, sebagai pemula untuk mencapai kebenaran, merupakan petunjuk akan makna puji. Serta pujian kepada sumser dari segala sumber yang tumbuh. Memberikan ajaran akadiyat berupa ha na ca ra ka sebagsi petunjuknya. Sedang da ta sa wa la berarti kepada Tuhan yang dipuji.”
“Wadat jati yang dirasakan berupa pa dha ja ya nya. Adalah yang menyaksikan bahwa yang memberi dan yang diberi petunjuk adalah sama teguhnya. Tujuannya mendukung dan akhadiyat. Sedang: ma ga ba tha nga berarti sudah menjadi sir sejati.”
“Tanda Manikmaya sudah menjadi pengetahuan akan tujuan yang sesungguhnya. Itulah akhir dari pada petunjuk. Manikmaya adalah tiada. Yakni bersatunya hati dengan alam arwah. Itulah saat mulanya ada akal. Akhir dari Hyang Maha Manik.”
“Kegaiban dari awal Hyang Manikmaya tak dapat diramu atau diungkap dengan tulisan. Tiada awal dan tiada tempat. Tiada arah dan tiada akhir. Sembahnya melebur ke dalam rasa penglihatan. Tajam bagai pucuk manikam. Jernih tembus tak bertepi.”
“Itulah pusat penglihatan. Makna dari Duapuluh Aksara, yang mengajarkan sifat duapuluh. Sifat keadaan dzat, ketika akal belum terurai dalam kata-kata yang menyatakan akal. Manikmaya itulah ilmu.”
Dalam Bahasa Jawa
“Kawuri pangertine Hyang, taduhira sastra kalawan gending, sokur yen wus sami rujuk nadyan aksara jawa, datan kari saking gending asalipun, gending wit purbaning kala, kadya kang wus kocap pinuji.”
“Kadya sastra kalidasa, wit pangestu tuduh kareping puji, puji asaling tumuwuh, mirit sang akadiyat, ponang : ha na ca ra ka : pituduhipun, dene kang : da ta sa wa la; kagetyan ingkang pinuji.”
“Wadat jati kang rinasan, ponang: pa da ja ya nya; angyekteni, kang tuduh lan kang tinuduh, pada santosanira, wahanane wakhadiyat pembilipun, dene kang : ma ga ba ta nga, wus kenyatan jatining sir.”
“Pratandane Manikmaya, wus kenyatan kawruh arah sayekti, iku wus akiring tuduh, Manikmaya an taya, kumpuling tyas alam arwah pambilipun, iku witing ana akal, akire Hyang Maha Manik.”
“Awale Hyang Manikmaya, gaibe tan kena winoring tulis, tan arah gon tan dunung, tan pesti akir awal, manembahing manuksmeng rasa pandulu, rajem lir hudaya retna, trus wening datanpa tepi.”
“Iku telenging paningal, surah sane kang sastra kalih desi, lan mirit sipati rong puluh, sipat kahananing dat, ponang akan durung ana ananipun kababaring gending akal, Manikmaya wus kang ngelmi.”
MELALUI kutipan Serat Sastra Gendhing di atas, kita dapat menangkap nilai-nilai ajaran kearifan yang disampaikan oleh Sultan Agung. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan.
Menyatukan Sastra dan Bunyi Gendhing
Sastra merupakan suatu keindahan yang dapat ditangkap secara kasat mata karena digubah secara tekstual. Dengan demikian, sastra memiliki makna simbolis sebagai manusia, makhluk Tuhan yang kasat mata dan memiliki keindahan sebagaimana sastra. Sementara bunyi gending merupakan suatu keindahan yang dapat ditangkap hanya dengan melalui hati. Karenanya, bunyi gendhing disimbolkan sebagai Tuhan yang tidak dapat dilihat dzat-Nya, namun keberadaan-Nya dapat dirasakan dengan hati paling dalam.
Tampak secara sekilas, sastra dan bunyi gendhing tepisah. Namun keduanya akan mencapai puncak keindahan, bila dipadukan. Sehingga sastra (manusia) merasuk ke dalam bunyi gendhing (Tuhan), dan bunyi gendhing merasuk ke dalam sastra. Dengan demikian, terciptalah hubungan kosmis antara manusia dengan Tuhan. Aku sajroning Ingsung, Ingsun sajroning Aku, yang disimbolisasikan dengan Curiga manjing Warangka, Warangka manjing Curiga.
Aksara Jawa Mengajarkan Hubungan Kosmis
Hanacaraka adalah lima aksara Jawa pertama, yang memiliki makna ‘ada seorang utusan’ (manusia). Dengan demikian, manusia ditangkap sebagai khalifah (utusan Tuhan), dan sekaligus sebagai pemberi pujian kepada sumser dari segala sumber yang tumbuh (Tuhan). Dzat yang berhak menerima pujian (datasawala).
Hubungan antara manusia atau sang pemberi pujian (hanacaraka) dan Tuhan atau penerima pujian (datasawala), bila telah mencapai kualitasnya maka akan tercipta padhajayanya. Artinya antara pemberi pujian dan yang dipuji sama-sama teguhnya. Dengan demikian, pujian tersebut bukan sekadar pelafalan yang berhenti di ujung lidah, namun mampu merembes ke dasar hati hingga menjadi sir sejati (magabathanga).
Manikmaya, Pencapaian Tertinggi Manusia
Di lingkungan kaum Spiritual Jawa, Manikmaya sering dimaknai dengan awang-uwung. Alam paripurna yang dilambangkan dengan angka 0 (nol). Sekali pun demikian, alam paripurna tidak berarti kosong. Melainkan ada yang tiada atau tiada yang ada.
Bagi manusia yang dapat mencapai tataran Manikmaya (Sang Hyang Manikmaya), bisa dikatakan sebagai manusia sempurna. Manusia yang dapat bersatu dengan Tuhannya, Manunggaling Kawula klawan Gusti, sebagaimana sastra yang telah berhasil menyatu dengan bunyi gendhingnya. Dan seperti Aksara Jawa yang telah mencapai pada tataran terpuncak yakni ma ga ba tha nga, suatu Keheningan Abadi.
Salam Rahayu…
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College