1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (315 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...
Published on: February 11, 2010 - 6:00 AM

Kakawin BHARATAYUDDHA

Kakawin Bharatayuddha ini ceritanya merupakan penggalan dari Kitab Mahabharata, yang mengisahkan tentang perang 18 hari antara Pandawa dan Korawa di Padang Kuruksetra, yang dikenal sebagai Perang Bharatayuddha.

Kisah Epos MAHABHARATA

Kitab Mahabharata berisi lebih dari 100.000 sloka. Mahabharata berarti cerita keluarga besar Bharata. Kitab Mahabharata memiliki delapan belas bagian yang disebut Astadasaparwa.

Dalam pembagian kasta di agama Hindu, golongan ksatria dipercaya mampu memimpin dan membela negara. Setiap ksatria memiliki cara pandangnya sendiri untuk memimpin. Pada dasarnya seorang ksatria telah diwarisi bakat untuk menjadi pemimpin bangsanya. Keunggulan para ksatria dalam hal memimpin peperangan dapat ditemukan dalam cerita Mahabharata. Mahabharata merupakan salah satu cerita epos India yang sangat legendaris. Cerita Mahabharata selalu menjadi pembicaraan dari masa ke masa. Kemasyuran cerita Mahabharata telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran cerita Mahabharata dapat disajikan dalam berbagai bentuk.

Di Jawa, Mahabharata mulai diperkenalkan melalui kesenian wayang kulit. Juga ada pertunjukan Mahabharata dalam bentuk wayang orang atau sendratari. Selain dikemas dalam bentuk pertunjukan, Mahabharata juga dapat ditemukan dalam bentuk novel dan komik bergambar. Ada pula cerita Mahabharata yang berbentuk Kakawin. Kakawin merupakan bentuk syair yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dengan susunan kata yang banyak dipengaruhi dari India.

Dilihat dari segi kesusastraan, epos Mah?bh?rata memiliki sifat-sifat dramatis. Tokoh-tokohnya seolah- olah nyata karena perwatakan mereka digambarkan dengan sangat hidup, konflik antara aksi dan reaksi yang berkelanjutan akhirnya selalu mencapai penyelesaian dalam bentuk kebajikan yang harmonis.

Nafsu melawan nafsu merupakan kritik terhadap hidup, kebiasaan, tata cara, dan cita-cita yang berubah-ubah. Menurut Mahatma Gandhi, konflik abadi yang ada dalam jiwa kita diuraikan dan dicontohkan dengan sangat jelas dan membuat kita berpikir bahwa semua tindakan yang dilukiskan di dalam Mahabharata seolah-olah benar-benar dilakukan oleh manusia.

Epos Mahabharata telah meletakkan doktrin dharma yang menyatakan bahwa kebenaran bukan hanya milik satu golongan. Epos ini juga menyatakan bahwa ada banyak jalan serta cara untuk melihat atau mencapai kebenaran karena adanya toleransi. Epos Mahabharata mengajarkan bahwa kesejahteraan sosial harus ditujukan bagi seluruh dunia dan setiap orang harus berjuang untuk mewujudkannya tanpa mendahulukan kepentingan pribadi. Itulah dharma yang diungkapkan epos Mah?bh?rata sebagai sumber kekayaan rohani atau dharmasastra yang bersifat universal.

Sejarah Penulisan

Kisah Bharatayuddha tertuang dalam epos Mahabharata yang ditulis oleh Vyasa Krisna Dwipayana di India pada sekitar 400 SM.

Bharatayuddha adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut kisah perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Kata Bh?ratayuddha merupakan kata Sanskerta yang berarti “Perang keturunan Bharata. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India yang telah diadaptasi di Jawa sebagai karya seni dalam bentuk kakawin dan wayang.

Di Indonesia, kisah Mahabharata ditulis ulang di berbagai daerah sejak zaman kerajaan, dengan penyesuaian kondisi sosial budaya setempat. Oleh karena itu, cerita Mahabharata semakin berkembang di nusantara dengan cerita yang tidak lagi sama persis seperti aslinya.

Menurut kronogram yang terdapat pada awal kakawin ini, karya sastra ini ditulis pada tahun sanga-kuda-suddha-candrama. Sangkala ini memberikan arti: 1079 Saka atau 1157 Masehi, pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya. Persisnya kakawin ini selesai ditulis pada tanggal 6 November 1157.

Pada masa Kerajaan Kediri, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh menggubah Kakawin Bharatayuddha bersama-sama. Kakawin ini merupakan upaya pujangga kerajaan dalam menganalogikan keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala.

Kakawin Bharathayuddha ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan versi aslinya. Intisari kisah ini tentang perang Bharatayuddha. Perselisihan antara keluarga Pandawa, yang dipimpin oleh Puntadewa atau Yudishtira, melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana atau Suyodhana.

Perang Bharatayuddha disebabkan oleh keinginan Pandawa, yang telah menjalani hukuman buang selama 12 tahun, untuk mendapatkan kembali haknya sebagai pewaris sah Kerajaan Hastinapura, di mana perjanjiannya telah dilanggar oleh Korawa, yang tidak mau menyerahkan takhta.

Setelah upaya damai menemui jalan buntu, terjadilah perang dahsyat, yang melibatkan kedua pihak Pandawa dan Korawa di Padang Kuruksetra.

Kakawin ini lebih berkonsentrasi pada penceritaan suasana dan kejadian ketika peperangan Bharatayuddha berlangsung. Fokus cerita hanya berkisar tentang strategi peperangan, dan lebih membicarakan setiap tokoh beserta pemikiran mereka. Salah satu tokoh penting adalah Puntadewa atau Yudhishtira.

Sebagai ksatria dan seorang pemimpin, Yudhishtira dalam cerita ini tidak terlalu banyak dideskripsikan, dibandingkan dengan Arjuna dan Bima, yang hampir selalu disebut dalam setiap adegan. Walaupun Yudhishtira terlihat tidak terlalu banyak berperan, di akhir cerita, tokoh ini menjadi kunci atas kemenangan Pandawa. Penokohan Yudhishtira sebagai seorang pemimpin dalam peperangan ini menjadi hal menarik.

Yudhishtira sebagai Pemimpin Berkarakter Kuat dan Baik

Seorang pemimpin hebat adalah pemimpin yang sukses memperjuangkan kesejahteraan kaumnya. Kesuksesan itu muncul dari kepribadian yang memusatkan pada kehidupan dan memegang teguh prinsip-prinsip utama kepemimpinan. Saya ingat, Stephen Covey telah meringkas ciri-ciri seorang pemimpin sukses menjadi delapan prinsip utama. Kedelapan prinsip tersebut yaitu terus belajar, berorientasi pada pelayanan, memancarkan energi positif, memercayai orang lain, hidup seimbang, melihat hidup sebagai petualangan, sinergistik, dan berlatih untuk memperbarui diri.

Yudhishtira adalah seorang pemimpin dan juga keturunan Dewa Dharma. Dalam agama Hindu, Dewa Dharma adalah dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dewa Dharma itu tercermin dari sikap Yudhishtira dalam bertindak. Sebagai anak dari Dewa Dharma, Yudhishttira selalu berusaha menjalankan dharma dalam hidupnya. Penggambaran karakter itu menunjukkan bahwa Yudhishttira adalah sosok yang mau terus belajar dan selalu memancarkan energi positif.

Kemauannya untuk terus belajar menjadikan Yudhishtira sebagai orang terpintar di antara saudara-saudaranya. Ilmu yang telah ia pelajari digunakan untuk membantu Pandawa dalam memecahkan masalah mereka. Contoh ini dapat dikaitkan pula dengan prinsip pemimpin lainnya, yaitu berorientasi pada pelayanan. Yudhishttira menggunakan ilmunya untuk keberlangsungan hidup banyak orang. Untuk gambaran lebih jelas mengenai Yudhishtira pada Kakawin Barathayuddha dapat dibaca dalam kutipan berikut ini.

“Dengan senang hati, raja Yudhishtira, anak dewa Dharmma mengantarkannya dengan mengendarai seekor gajah yang marah. Dengan sejenak ia duduk di bawah payung kuning. Di dalam tangannya ia membawa buku yang tertutup dengan kancing ratna berkilauan. Sungguh, ia merupakan jelmaan dewa Dharmma, yang menginginkan terbunuhnya raja Salya dan Suyodhana, di dalam perang. Apabila musuh-musuhnya itu tidak mau tunduk dan tetap galak, bukunya akan menjelma menjadi senjata wajra.”

Kutipan di atas menjelaskan Yudhishtira selalu membawa buku, ia menjadikan ilmu pengetahuan sebagai modal utamanya dalam membantu orang lain. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adegan ketika Yudhishtira dimintai pendapat tentang suatu keputusan. Pembawaannya yang berilmu pengetahuan tinggi, membetuk karakter Yudhishtira menjadi ksatria bijaksana. Salah satu kebijakan Yudhishtira dapat dipahami dari kutipan berikut ini.

“Maka dari sebab ini raja Yudhishttira memerintah untuk menyusun gelar makara byuha yang menakutkan. Dhreshta-dyunna dan Ghatotkaca menjadi sapitnya, sedangkan pahlawan Satyaki menjadi mulutnya. Nakula dan Sahadewa merupakan matanya, anak-anak orang Pandawa merupakan sungutnya, sedangkan Abhimanyu merupakan hidungnya. Raja Yudhishtira merupakan kepalanya, sedangkan yang menjadi badan dan punggungnya, yang merupakan barisan belakang, ialah segala raja-raja.”

Yudhishtira seorang pemikir handal, ia pandai menyusun strategi peperangan. Ia juga mampu berperang di barisan paling depan jika dibutuhkan. Adakalanya Yudhistira berada di posisi depan peperangan. Hal ini terjadi apabila situasi mengehendaki. Ia menjadi tokoh yang fleksibel. Sikap ini sesuai dengan prinsip yang melihat hidup sebagai sebuah petualangan. Prinsip kepemimpinan lain yang terpenuhi dalam Yudhishttira adalah sikap yang mau memancarkan energi positif. Sebagai orang yang selalu berbuat jujur, ia selalu menjadi kepercayaan banyak orang. Pihak musuh pun demikian percayanya pada Yudhishtira.

Saat perang Bharatayuddha, Dronna belum mau percaya begitu saja tentang informasi kebeeadaan anaknya, sehingga ia tanya kepada Yudhishtira. Dronna, sang pendeta, bertanya apakah benar bahwa Aswathama telah gugur: “Sungguh demikian halnya tuan!” Demikian kata Yudhishtira, di dalam hatinya yang dimaksudkan adalah nama si gajah. Tetapi Dronna mengira itu adalah nama anaknya, “Aswathama telah mati.” Sehingga berita itu membuat Dronna sedih dan melemah.

Peran Yudhishtira dalam peperangan Bharathayuddha pada bagian awal tidak terlalu banyak terlihat. Peran Yudhishtira mulai terlihat jelas dalam peperangan melawan Senopati Korawa yang bernama Salya, guru sekaligus pamannya sendiri. Pada awalnya, Yudhishtira tidak sampai hati untuk melawan guru dan pamannya sendiri. Setelah raja Kreshna yang meminta, akhirnya Yudhishtira luluh hatinya, dan mau maju ke medan laga melawan Salya.

Adegan ini merupakan contoh dari prinsip pemimpin yang mau berlatih untuk memperbarui diri. Yudhishtira mau menerima saran Kreshna. Hal ini bukan karena Yudhishtira mudah menuruti kehendak orang lain, melainkan sebuah sikap keterbukaan. Di adegan yang lain, sikap Yudhishtira yang mau menerima masukan dari orang lain, terlihat dalam kutipan berikut.

“Apabila Yudhishtira, anak dewa Dharma, tidak membunuh raja Salya, perang ini tidak akan berakhir! Sebab bagaimanakah panah-panah rudra-rosa itu dapat dihilangkan?” demikian kata-kata para dewa dengan tandas. Tetapi Yudhishtira, anak dewa Dharma itu bersikap tenang, karena sifatnya lemah lembut dan dalam pikirannya selalu memberi maaf. Oleh karena itu, Raja Kreshna dengan waspada minta belas kasihan kepada Yudhshtira supaya ikut serta dalam pertempuran.”

Kutipan di atas menggambarkan situasi ketika senopati atau panglima perang Korawa, Raja Salya, telah melepaskan panah rudra-rosa. Panah-panah itu apabila telah dilepaskan akan berubah menjadi raksasa-raksasa, yang jika disakiti atau dobunuh, jumlahnya akan semakin banyak. Hanya dengan situasi tenanglah yang dapat mengendalikan raksasa-raksasa itu.

Hanya ada satu jalan untuk membasmi raksasa-raksasa itu, yaitu melalui tombak sakti milik Yudhishtira. Pada adegan inilah peran Yudhishtira menjadi kunci dari jalannya cerita.

Bagian awal Kakawin Barathayuddha telah disebutkan kitab yang selalu dibawa Yudhishtira dapat berubah menjadi senjata yang sangat sakti. Kutipan berikut ini menjelaskan tentang hal itu.“Pada waktu itu raja Kreshna menyerukan kepada raja Yudhishtira, anak dewa Dharma, untuk menembakkan (senjata) pustaka. Akhirnya raja Yudhishtira menemukan kembali kesadarannya dan ia suka dalam hati, ketika ada orang yang memperingatkannya. Dengan wajarnya ia memegang senjata pustaka yang bernama Kalimahoshadha. Mantra-mantranya telah diucapkan dengan sempurna, sehingga senjata itu memiliki kekuatan gaib dan menjelma menjadi tombak yang mengeluarkan api berkobar-kobar.”

Raja Seluruh Alam Semesta

Karakteristik Yudhishtira menjadi sangat jelas dalam cerita ini. Yudhishtira dengan kedelapan ciri prinsip kepemimpinan, itu memberikan sebuah kemenangan di akhir cerita. Setelah Yudhishtira menumpas Salya, kelima Pandawa pergi mencari sisa-sisa pasukan Korawa yang masih hidup. Penumpasan pasukan Korawa, menggambarkan ciri pemimpin yang ingin terus berusaha untuk membuat keadaan lebih baik.

Kemenangan Pandawa menjadikan Yudhishtira dinobatkan sebagai Raja Seluruh Alam Semesta. Kejayaan Yudhishtira juga tidak dapat dilepaskan dari sifat-sifat yang ia miliki dan peran dewa yang ada di dalam dirinya dan dewa-dewa lainnya.

Kakawin Bharathayuddha membahas perang saudara antar keluarga Pandawa dan Korawa. Kakawin versi ini fokusnya pada peperangan Bharathayuddha. Hampir keseluruhan cerita membicarakan deskripsi ketika perang berlangsung, sampai kepada pembahasan tokoh Yudhishtira.

Kakawin ini menampilkan Yudhishtira sebagai sosok pemimpin berkarakter kuat dan berprinsip. Yudhishtira memegang teguh prinsip-prinsip utama kepemimpinan. Seperti dijelaskan Covey, ciri-ciri pemimpin sukses harus setidaknya memenuhi delapan prinsip kepemimpinan. Dalam perannya, Yudhishtira memenuhi ciri-ciri itu. Kedelapan prinsip tersebut yaitu terus belajar, berorientasi pada pelayanan, memancarkan energi positif, mempercayai orang lain, hidup seimbang, melihat hidup sebagai petualangan, sinergistik, dan berlatih untuk memperbarui diri.

Frekuensi kemunculan Yudhishtira dalam jalannya cerita tidak banyak dikisahkan. Keunikan Yudhishtira yaitu walaupun tidak banyak disebut-sebut dalam cerita, ia menjadi puncak dan tonggak kemenangan Pandawa. Kemenangan Pandawa tersebut adalah buah hasil dari kerjasama dan kekompakan para Pandawa. Hal ini juga tidak terlepas dari karakter Yudhishtira sebagai pemimpin bijaksana. Gambaran Yudhishtira pada kakawin ini sangat bermanfaat dalam menentukan panutan pemimpin yang ideal.

Kakawin Bharatayuddha dalam bahasa Jawa Baru

Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.

Di Yogyakarta, cerita Bharatayuddha ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.

Salam Rahayu…

Salam Luar Biasa Prima!

Wuryanano

Twitter: @Wuryanano

Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (315 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...

Leave a Comment

Your email address will not be published.