1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (254 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...
Published on: April 28, 2014 - 9:00 PM

Kapur, Penghapus, dan Karpet

Kapur, Penghapus, dan Karpet

Seorang Guru tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari’at Islam.

Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, “Saya punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah ‘Kapur!’, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah ‘Penghapus!’.”

Murid-muridnya pun mengerti dan mengikuti. Sang Guru mengangkat secara bergantian, tangan kanan dan tangan kirinya, kian lama kian cepat.

Beberapa saat kemudian Sang Guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat Kapur, maka berserulah ‘PENGHAPUS!’, jika saya angkat Penghapus, maka katakanlah ‘KAPUR!’.”

Dan permainan diulang kembali. Awalnya, murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang Guru tersenyum kepada murid-muridnya.

“Anak-anak, begitulah umat Islam. Awalnya jelas dapat membedakan bahwa yang Haq itu Haq, yang Bathil itu Bathil. Namun kemudian, musuh-musuh umat Islam berupaya dengan berbagai cara, untuk menukarkan bahwa yang haq itu menjadi bathil, dan sebaliknya.”

“Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika.”

“Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal lumrah, seks sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah jadi terbalik. Dan tanpa disadari, sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Guru kepada murid-muridnya.

“Paham Bu Guru…!”

“Baik permainan kedua,” Sang Guru melanjutkan. “Ini ada Kitab Qur’an, saya akan meletakkannya di tengah karpet. Qur’an itu ‘dijaga’ sekelilingnya oleh umat, yang dalam permainan ini dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an di tengah karpet tersebut, dan ditukar dengan buku lain, tanpa menginjak karpet?”

Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil.

Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar. Digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an, dan ditukarnya dengan buku lain.

Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet. “Murid-murid, begitulah umat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-injak kalian secara terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasa pun tak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar.”

“Ibarat rumah yang kuat, dengan pondasi kuat. Jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau pondasinya dibongkar dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”

“Begitulah cara musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, cara berpakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan.”

“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak kita, Bu Guru?” tanya mereka.

“Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Kalau umat Islam diserang terang-terangan, akan sadar, lalu mereka bangkit serentak untuk melawan musuhnya. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah umat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, bahkan diadu domba di antara sesama muslim, mereka tidak akan sadar, dan akhirnya hancur.”

“Baiklah. Pelajaran kita kali ini sudah selesai, dan mari kita berdo’a dahulu sebelum pulang…”

Salam Luar Biasa Prima!

Wuryanano

Twitter: @Wuryanano

Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (254 votes, average: 5.00 out of 5)

Loading...

Leave a Comment

Your email address will not be published.