Pandangan Kejawen tentang Tuhan mencakup konsep mengenai siapa yang disembah (sesembahan) dan siapa yang menyembah serta bagaimana cara menyembahnya (panembah).
Kitab Tantu Penggelaran menuliskan konsep awal bahwa Tuhan orang Jawa adalah Tunggal atau Esa, yaitu Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang, yang merupakan konsep transcenden (di luar kemampuan manusia), immanen (berada dalam kesadaran atau akal budi), dan esa (tunggal).
Ajaran Kejawen memiliki kedekatan khusus secara spiritual saat menyebutkan konsep Tuhan dengan sebutan “PANGERAN” atau “GUSTI“.
Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam bukunya, Paramayoga, merinci sebutan bagi sesembahan Jawa, antara lain: Sang Hyang Suksma Kawekas, Sang Hyang Suksma Wisesa, Sang Hyang Amurbeng Rat, Sang Hyang Sidhem Permanem, Sang Hyang Maha Luhur, Sang Hyang Wisesaning Tunggal, Sang Hyang Wenanging Jagad, Sang Hyang Maha Tinggi, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Maha Sidhi, Sang Hyang Warmana, Sang Hyang Atmaweda, dan sebagainya.
Jauh sebelum agama samawi masuk ke Tanah Jawa, masyarakat Jawa sudah mengenal satu kekuatan yang “Maha” dengan nama Gusti Kang Murbeng Dumadi. Keyakinan akan konsep ketuhanan ini didasarkan pada sesuatu yang riil (kasunyatan), yang diaplikasikan dalam kehidupan dan aturan positif sehari-hari.
Masyarakat Jawa percaya jika seseorang bisa hidup karena ada yang menghidupkan, yakni Gusti Kang Murbeng Dumadi. Mereka juga berpegang pada prinsip tepa slira dan tidak suka memaksakan kehendak kepada orang lain.
Pada awalnya, Tuhan Yang Maha Suci meminjamkan jasad kepada ruh dalam keadaan suci. Apabila waktu peminjaman telah habis, ruh diminta pertanggungjawabannya, maka ruh harus mengembalikan jasad pinjamannya itu dalam keadaan suci seperti semula.
Ruh dengan jasadnya diizinkan Tuhan turun ke bumi, tetapi dibebani tugas, yakni menjaga barang pinjaman tersebut agar dalam kondisi baik dan suci saat kembali kepada pemilik-Nya, Gusti Ingkang Akarya Jagad.
Ruh dan jasad menyatu dalam wujud manusia. Tempat untuk mengekspresikan dan mengartikulasikan diri manusia adalah tempat pinjaman Tuhan, yang dinamakan bumi berikut segala macam isinya atau disebut marcapada.
Karena bumi bersifat “pinjaman” Tuhan, maka bumi juga bersifat tidak kekal. Betapa Maha Pemurah Tuhan, Dia bersedia meminjamkan jasad, berikut tempat tinggal dan segala isinya menjadi fasilitas manusia yang boleh digunakan secara gratis.
Tuhan hanya menuntut tanggung jawab manusia agar menjaga semua barang pinjaman tersebut. Manusia diperbolehkan memanfaatkan semua fasilitas yang Tuhan sediakan dengan cara tidak merusak barang pinjaman dan semua fasilitasnya. Itulah perjanjian ghaib antara Tuhan dengan manusia sebagai makhluk-Nya.
TUHAN adalah “Sangkan Paraning Dumadi”. DIA adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. DIA hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari. Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya Raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan “kirata basa”. Katanya, Pangeran berasal dari kata “Pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali disebut “sweca”.
WujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata-kata tak dapat menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran, tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaranNYA.
Karena itu orang Jawa menyebutnya “Tan Kena Kinaya Ngapa” (tak dapat disepertikan/disamakan makhluk). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA.
Karena itu TUHAN diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Akarya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu Nasib Semua Makhluk), Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain. Pemberian banyak nama kepada TUHAN sesuai dengan perananNYA ini sama seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak nama”.
Bagi mereka yang mampu melepaskan diri dari keduniawian, akan mengalami sebuah puncak pengalaman religius yang dikenal dengan Manunggaling Kawula klawan Gusti. Kemampuan ini hanya bisa diperoleh dengan laku spiritual.
Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA, secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang dalam Bhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.
Rahayu…
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College