Di puasa hari ke 6 ini, dampak wabah corona begitu terlihat nyata, memengaruhi hampir semua sendi kehidupan, termasuk dalam ibadah. Tidak pernah terlintas sedikit pun di pikiran saya, bahwa virus kecil dapat menghentikan kita dari merayakan bulan Ramadhan. Lebih dari satu miliar Muslim di seluruh dunia seakan menjadi sandera virus yang sangat kecil ini.
Masjid-masjid mulai sepi, puasa sepanjang hari akan berada di dalam isolasi, di rumah. Dan di beberapa tempat, panggilan untuk berdoa, kumandang suara adzan, yang mengumpulkan orang-orang untuk shalat bersama, sudah mulai ditiadakan dengan nasihat: “Beribadah di tempat tinggal Anda, di rumah aja.”
Biasanya selama bulan Ramadhan, yang sudah dimulai pada Kamis, 23 April ini, kehidupan komunitas Muslim membengkak dan memadati masjid-masjid untuk berdoa bersama, menikmati takjil, dan berbuka puasa bersama, bahkan kegiatan meramaikan masjid ini bisa berlangsung hingga dini hari.
Tetapi sosialisasi semacam itu, di masa sekarang berisiko menyebarkan virus corona, dan larangan pertemuan keagamaan akan tetap berlaku di sebagian besar tempat dunia, bahkan ketika bisnis dan kantor pemerintah mulai dibuka kembali, aturan itu masih diberlakukan.
Hati kami, umat Muslim tersiksa karena dampak pandemi di bulan suci Ramadhan. Ini adalah momen yang sangat menyedihkan dalam sejarah Islam di abad ini. Ada bahaya di luar dan upaya terbaik yang sangat dianjurkan adalah tetap di rumah aja.
Orang-orang berkata, bagaimana kita akan melewati bulan Ramadhan ini, ketika kita tidak bisa bertemu satu sama lain, ketika ada risiko kesehatan, dan kita juga takut sakit dan mati. Larangan ke luar rumah dan bepergian, sebenarnya baik untuk mencegah penyebaran coronavirus lebih jauh.
Hal.yang membuat kami tenang karena nasihat Rasul Allah dalam sebuah hadits, yang mengatakan: “Jika engkau mendengar wabah di suatu negeri, maka jangan masuk ke dalamnya. Jika itu terjadi di tanah tempat engkau berada, maka jangan keluar dari situ.”
Pemerintah Indonesia juga telah melarang mudik, pulang kampung tahunan, di mana puluhan juta orang terbiasa melakukan perjalanan untuk melihat keluarga mereka di tempat asal mereka, dan untuk menyongsong Idul Fitri, hari raya kemenamgan, yang menandai akhir bulan puasa.
Jadi, logikanya memang lebih baik berada di rumah aja, bersama keluarga kita, aman, karena kita masih memiliki uang, listrik, telepon, makanan, dan minuman. Namun, saya juga merasa sedih ketika terlintas pikiran, bagaimana dengan mereka yang belum ada kemampuan? Mereka yang saat diberlakukan larangan ke luar rumah, ternyata itu justru menghentikan penghasilan mereka, membuat mereka jadi sengsara akibat kehabisan dana untuk kehidupannya?
Pemerintah semestinya bisa dengan cepat memberikan solusinya, namun saya meragukan upaya pemerintah dalam memberikan solusi membantu mereka yang tidak mampu ini. Mengapa? Karena mengingat begitu banyak dan begitu besar kasus korupsi, yang tak pernah ditangani dengan benar secara hukum yang berlaku, dan hukum pun dengan mudah dimanipulasi oleh pejabat tinggi, sehingga dengan denikian keadilan bagi rakyat pasti terabaikan. Itu pun masih ditambah dengan persoalan kebijakan hutang atas nama negara, dengan jumlah yang sangat besar, yang hitungannya, mau tidak mau, harus ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia, hingga anak cucu cicit kelak.
Harapan saya untuk memiliki pemimpin amanah, yang mampu membawa seluruh rakyat menuju kehidupan yang adil dan makmur pun sirna sudah. Meskipun begitu, sebagai rakyat, saya berupaya keras untuk mencoba selalu berpikir positif dan optimis, pantang menyerah, tetap tegar berjalan menuju masa depan, sebagai anak bangsa dengan harapan-harapan besar yang memberdayakan diri. Tetap punya harapan besar, bahwa bangsa dan negara Indonesia, kelak akan benar-benar mendapatkan pemimpin bangsa yang amanah dan adil, memiliki Mental Leader Sejati, sehingga bisa benar-benar membawa rakyat Indonesia menuju kehidupan sejahtera dan bahagia lahir-batin. Kita harus tetap tegar. Menolak menyerah. Menolak kalah.
Salam Luar Biasa Prima!